Wujudkan Kepastian Hukum, Pengakuan Keberadaan serta Hak-hak Desa Adat, Pansus PKDA Gelar Uji Publik

Sabtu, 27 Juli 2024 257
Pansus PKDA Saat Melaksanakan kegiatan Uji Publik, di Ballroom Hotel Novotel, Balikpapan (27/07).

BALIKPAPAN. Panitia Khusus (Pansus) pembahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat melaksanakan kegiatan Uji Publik, di Ballroom Hotel Novotel, Balikpapan (27/07).

 

Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua DPRD Kaltim Sigit Wibowo membuka kegiatan Uji Publik tersebut. Dalam sambutannya Ia mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Provinsi mendapatkan mandat untuk menyusun peraturan daerah yang mengatur tentang 3 (tiga) aspek dari penyelenggaraan pemerintahan desa adat sebagaimana diatur pada pasal 109, yaitu: susunan kelembagaan desa adat, mekanisme pengisian jabatan kepala desa adat, dan masa jabatan kepala desa adat.

 

“Arah yang akan diwujudkan dalam Ranperda Kelembagaan Desa Adat ialah untuk memberikan kepastian Hukum dan pengakuan terhadap keberadaaan serta hak-hak Desa Adat, termasuk pengelolaan aset dan sumber daya alam di wilayahnya,” Kata Sigit.

 

Adapun, tujuan dari Perda ini ialah untuk mengatur penataan Desa Adat, kewenangan Desa Adat, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa Adat dan perangkat Desa Adat, struktur organisasi dan tata kerja Desa Adat, musyawarah Desa Adat, peraturan Desa Adat, dan pengelolaan aset Desa Adat,” kata Sigit dalam sambutannya.

 

Sehingga, ia pun berharap bahwa seluruh peserta uji publik dapat memberikan masukan dan saran yang konstruktif sehingga substansi-substansi yang terkandung dalam Raperda ini dapat diterima secara jelas dan utuh.

 

Ketua pansus Rusman Ya’qub menuturkan, Sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kalimantan Timur, data menunjukkan bahwa terdapat 187 komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Timur. Namun, hingga saat ini, hanya 6 Masyarakat Hukum Adat yang diakui secara resmi melalui Peraturan dan SK Bupati. 

 

“Meskipun jumlahnya masih terbatas, langkah pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Timur telah diambil melalui peraturan daerah ini,” tutur Rusman Ya’qub.

 

Adapun materi yang disampaikan dalam uji publik, yakni Ruang Lingkup Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif DPRD Kaltim tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan Hukum Adat yang disampaikan oleh Ketua Pansus Rusman Ya’qub.

 

Materi lainnya, yakni Masyarakat Hukum Adat dan Desa Adat yang disampaikan oleh Perkumpulan HuMa Indonesia Erwin Dwi Kristianto, Potensi Pembentukan Desa Adat di Prov. Kaltim ditinjau dari aspek Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota disampaikan oleh Kabid Pemberdayaan Kelembagaan dan Sosial Budaya Masyarakat Roslindawaty serta Kebijakan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Melalui Lembaga Adat Desa dan Desa Adat disampaikan oleh Direktorat Fasilitasi Lembaga Kemasyarakatan dan Adat Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.(hms9)

TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.