Sejarah DPRD

Senin, 12 April 2021 6947
Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) baru terbentuk pada tanggal 1 Januari 1957. Patokan yang dipakai adalah sejak tahun baru 1957 itulah pertama kali terisi adanya pemimpin pemerintahan provinsi, yakni mantan Residen A.P.T. Pranoto telah menduduki atau diangkat menjadi penjabat Gubernur, dengan istilah Acting Gubernur.

Tanggal 12 Januari 1957, semestinya menjadi tonggak penting bagi perjalanan kehidupan pemerintahan berhaluan demokrasi di Kaltim. Hari itu, Menteri Dalam Negeri Mr. Soenarjo, sampai harus datang ke Samarinda. Itulah saat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), salah satu perangkat sekaligus symbol sejarah demokrasi dalam pemerintahan Provinsi ini. Pada tanggal tersebut, sebanyak 30 tokoh perwakilan partai politik dilantik Mendagri menjadi wakil rakyat Provinsi Kaltim yang pertama kali. Mereka dilantik tiga hari setelah peresmian status Provinsi Kaltim pada 9 Januari 1957. Masa ini adalah masa pemerintahan pusat mempraktikkan sistem parlementer, dimana kepala pemerintahan dijabat Perdana Menteri. Pembentukan Provinsi dan DPRD Kaltim pertama ini berlangsung pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo II.

Sistem rekrut menanggota DPRD masa ini boleh dikata amat sederhana. Tanpa harus menjadi Calon Anggota Legislatif atau Caleg seperti halnya pada pemilu sekarang. Cara penetapan keanggotaannya merujuk hasil Pemilihan Umum (Pemilu) dua tahun sebelumnya. Dari Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, diketahui misalnya berapa perolehan suara Partai Nasional Indonesia (PNI) dan seterusnya. Dari perolehan suara partai hasil Pemilu 1955 itu, maka dapat diperoleh patokan untuk menentukan suatu partai dapat berapa kursi di DPRD Peralihan Provinsi Kaltim. Pimpinan partai kemudian menetukan kader-kadernya untuk diusulkan menjadi anggota DPRD. Sebutan panjang DPRD pada masa ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Timur. Tapi lebih popular dengan istilah DPRD Peralihan.

Pimpinan Dewan Propinsi Kaltim pertama ada dua kursi. Tokoh PNI Azis Samad, terpilih sebagai Ketua DPRD Kaltim pertama kali. Ia didampingi wakil ketua Basri Mochtar dari NU. pada bulan Februari 1958 sudah digelar pemilihan anggota DPRD di seluruh Indonesia, baik untuk Daerah Swatantra I (Provinsi) maupun Daerah Swatantra II (Kabupaten). Usia DPRD Kaltim periode pertama berakhir pada bulan Juni 1958.
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.