Pansus Desa Adat Sampaikan Laporan Akhir, Rusman Sebut, MHA Harus Mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan yang Layak

Senin, 29 Juli 2024 240
PENYAMPAIAN LAPORAN AKHIR : Ketua Pansus Pembahas Ranperda tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, Rusman Yaqub, saat membacakan laporan akhir dalam Rapat Paripurna ke 21, Senin (29/7).

SAMARINDA. Pansus DPRD Kaltim Pembahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Inisiatif DPRD Kaltim tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, sampaikan laporan akhir dalam Rapat Paripurna DPRD Kaltim ke 21, Senin (29/7).

 

Ketua Pansus Pembahas Ranperda tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, Rusman Yaqub, saat membacakan laporan akhir, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Pemprov Kaltim atas kerja sama dan koordinasi sebagai mitra yang setara dalam penyelenggaraan pembangunan daerah.

 

“Begitupun proses pembahasan Ranperda yang dilakukan oleh pansus bersama perangkat daerah, yang telah menyampaikan masukan saran demi kesempurnaan Ranperda tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat,” ujarnya.

 

Dijelaskan Rusman, kelembagaan pemerintahan desa adat mengalami perkembangan yang signifikan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Adat. Peraturan ini mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu desa dan desa adat.

 

“Dalam Pasal 96 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 juga ditegaskan, bahwa pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten dan kota menyelenggarakan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat,” sebut dia.

 

Kaltim menurut dia, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan keberagaman suku dan budaya. Sejak zaman dahulu, masyarakat adat telah hidup dengan mengikuti aturan-aturan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Nilai-nilai dan budaya ini menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat adat.

 

“Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kaltim telah diatur dalam Perda Kaltim Nomor 1 Tahun 2015. Peraturan ini menjadi dasar bagi penataan kelembagaan Desa Adat sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan Desa. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan masyarakat adat dapat tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan mereka serta mendapatkan perlindungan yang layak dari pemerintah,” terang Rusman.

 

Sejak diberlakukannya Perda Kaltim Nomor 1 Tahun 2015, data menunjukkan bahwa terdapat 187 komunitas Masyarakat Adat di Kaltim. Namun, hingga saat ini, hanya enam MHA yang diakui secara resmi melalui peraturan dan SK Bupati.

 

“Keenam MHA tersebut terletak di Kabupaten Paser, yakni Masyarakat Hukum Adat Mului dan Paring Sumpit, serta di Kabupaten Kutai Barat, yaitu Masyarakat Hukum Adat Benuaq Telimuk, Benuaq Madjaun, Bahau Uma Luhat, dan Tonyooi. Meskipun jumlahnya masih terbatas, langkah pengakuan dan perlindungan terhadap MHA di Kalimantan Timur telah diambil melalui peraturan daerah ini,” jelas Politis PPP ini.

 

Mengingat eksistensi masyarakat adat di Kaltim yang terbilang cukup banyak, berdasarkan data potensi MHA di Kaltim, Pansus memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah. Berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2015, kewenangan untuk mengakui MHA telah diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota.

 

“Oleh karena itu, pansus berharap proses verifikasi berkas yang diajukan oleh MHA dapat dipercepat oleh panitia penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di pemerintah kabupaten. Dengan demikian, diharapkan adanya akselerasi dalam pengakuan MHA tersebut,” bebernya.

 

“Hal ini penting dilakukan agar MHA dapat segera mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya pengakuan resmi, MHA akan memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya dan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat,” tambah Rusman.

 

Lanjut dia, Pansus juga meminta kepada Pemprov Kaltim, melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD), bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala terhadap proses percepatan pengakuan MHA yang ada di berbagai daerah di Kaltim.

 

“Tugas ini dilakukan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah guna memastikan bahwa proses percepatan pengakuan MHA berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya pembinaan dan pengawasan yang rutin, diharapkan MHA di Kaltim dapat terus berkembang dan mendapatkan pengakuan yang layak dari pihak berwenang,” harap dia.

 

Selain itu, penataan desa adat di Kaltim menunjukkan beberapa kelemahan yang sangat mendasar, seperti belum adanya regulasi yang mengatur hal tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pengakuan dan perlindungan terhadap kesatuan MHA di wilayah kabupaten dan kota. 

 

“Karenanya, Pemprov Kaltim perlu menyusun regulasi yang mengatur tentang Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan Hukum Adat. Regulasi ini juga diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang jelas dan kuat. Selain itu, perlu juga dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap Desa Adat, sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan mendukung upaya penataan Desa Adat di Kaltim,” sebut Mantan Ketua Komisi IV DPRD Kaltim ini.


“Adapun regulasi yang berbentuk perda ini, diharapkan menjadi pedoman bagi Pemkab dan Pemkot yang ada di Kaltim untuk menetapkan Perda Kabupaten dan Kota yang mengatur penyelenggaraan  pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan pembangunan Desa adat,  pembinaan kemasyarakatan Desa Adat dan pemberdayaan masyarakat Desa  Adat,” jelas Rusman. (hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
DPRD Kaltim Dorong Sinergi dan Digitalisasi CSR, Perda TJSL Kaltim Akan Dievaluasi
Berita Utama 10 November 2025
0
SAMARINDA – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk membahas tindak lanjut Pengelolaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) di Kalimantan Timur. Rapat yang bertujuan memaksimalkan peran CSR dalam pembangunan daerah ini dibuka dan dipimpin oleh Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Muhammad Darlis Pattalongi. Ia didampingi oleh Wakil Ketua Komisi IV, Andi Satya Adi Saputra, serta sejumlah Anggota Komisi, yaitu Agus Aras, Syahariah Mas’ud, Damayanti, Fuad Fakhruddin, dan Agusriansyah Ridwan di Ruang Rapat Gedung D Lantai 3 Kantor DPRD Kaltim, Senin (10/11/25). Fokus utama pembahasan dalam pertemuan ini dilatarbelakangi oleh potensi penurunan fiskal daerah, sementara Pemprov memiliki program pembangunan prioritas yang membutuhkan pembiayaan besar. Untuk itu Komisi IV menekankan perlunya mensinergikan pendanaan CSR berdampingan dengan APBD. ”Mensinergikan pendanaan CSR berdampingan dengan APBD itu sangat penting. Sinergi ini sangat krusial dalam rangka memaksimalkan peran pendanaan CSR bagi pembangunan Kaltim,” ujar Muhammad Darlis Pattalongi. Ia menambahkan bahwa digitalisasi terhadap program-program CSR juga sangat dibutuhkan. Legislator Daerah Pemilihan Kota Samarinda ini menegaskan bahwa pada dasarnya Pemerintah Daerah dalam hal ini tidak diperbolehkan mengambil dana CSR, melainkan hanya berperan dalam menyediakan perencanaan program yang belum terbiayai oleh APBD dan tepat guna serta tepat sasaran melalui program CSR. "Dengan kita bersinergi maka kita bisa memilah mana program yang bisa kita arahkan menggunakan APBD dan mana program yang kita arahkan melalui CSR," jelas Darlis. Ia kemudian mencontohkan Provinsi Kalimantan Barat yang telah berhasil mengimplementasikan pengelolaan dana CSR melalui Tim Fasilitasi di bawah BAPPEDA Provinsi. Diharapkan, melalui program yang terarah dan digitalisasi, tidak ada lagi duplikasi, tumpang tindih, atau ketertinggalan program. Sebagai tindak lanjut, Komisi IV menilai Peraturan Daerah (Perda) Kaltim Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perlu dievaluasi. Evaluasi bertujuan menyelaraskan CSR dengan program prioritas pembangunan, melibatkan Baznas, serta memastikan integrasi program. RDP ini kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa pengelolaan CSR di Kaltim harus dilakukan secara sinergis, terintegrasi, terkoordinasi, dan terdigitalisasi. Biro Hukum Setda Kaltim bersama Bappeda Kaltim diminta segera melakukan evaluasi dan penyesuaian Perda TJSL. Serta untuk mendukung program digitalisasi, disepakati Tim Sakti CSR akan memberikan pendampingan. (Hms11)