Soal Perbedaan Payung Hukum, PT MMP DIminta Segera Rekonsilisasi dengan BPK RI

30 Agustus 2021

Veridiana Huraq Wang, Ketua Komisi II DPRD Kaltim
SAMARINDA. PT Migas Mandiri Pratama (MMP) menyambangi Komisi II DPRD Kaltim untuk rapat dengar pendapat (RDP) pada Kamis (26/8/2021). Agenda tersebut berkenaan dengan audiensi dalam rangka koordinasi dan konsultasi.

Ketua Komisi II DPRD Kaltim Veridiana Huraq Wang mengatakan, pihaknya menghargai proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan terkait piutang PT MMP.

Namun demikian, pihaknya tetap meminta PT MMP Kaltim untuk segera melakukan rekonsiliasi dengan BPK RI untuk mensinkronisasikan perbedaan “payung" hukum.

"Itu piutang yang sudah lama dari modal di APBD. Kan ada APBD Rp 160 miliar, piutangnya Rp 60 miliar lebih yang belum terbayarkan dari 4 perusahaan. Itulah yang sedang berjalan di Kejaksaan," katanya.

"Yang baru, temuan BPK RI pada LHP tahun 2020 ada Rp 37 miliar lebih, itu yang perlu diperjelas kembali. Kami minta MMP untuk segera melakukan rekonsiliasi dengan BPK RI karena payung hukumnya beda," sambungnya.

Dijelaskan Politisi PDIP ini, perbedaan payung hukum di BPK RI, murni dari pembentukan Badan Usaha. Sedangkan, payung hukum di PT MMP Kaltim, menggunakan payung hukum Pl persen, yang melibatkan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota.

“Mereka menggunakan Permen SDM 37 Nomor 11 tahun 2016, sehingga ada perbedaan cara menghitung karena sudah terurai dalam Permen itu, biaya-biaya yang ditentukan," ujar Veridiana Huraq Wang.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Migas Mandiri Pratama (MMP) Kaltim Edy Kurniawan enggan berkomentar panjang terkait masalah piutang PT MMP yang terjadi pada kepemimpinan direksi yang lama.

Masalah ini, sedang bergulir di persidangan Pengadilan. “Berkaitan dengan piutang, mohon maaf, tidak bisa kami buka karena masih dalam proses hukum di Kejaksaan. Jadi kami diwantiwanti," akunya (adv/hms7).
TULIS KOMENTAR ANDA
Berita Utama
Database Pertanian, Kunci Ketahanan Pangan Kaltim di Tengah Dinamika IKN
admin 22 November 2024
0
SAMARINDA. Hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN) membawa dinamika baru bagi Kalimantan Timur (Kaltim). Salah satunya adalah melonjaknya kebutuhan pangan seiring pertumbuhan pesat jumlah penduduk. Namun, ambisi Kaltim menuju swasembada pangan menghadapi sejumlah tantangan mendasar. Salah satu ironi terbesar adalah penurunan produksi padi di tengah meningkatnya permintaan. Penyebabnya, tak lain adalah maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan area pertambangan. Hingga saat ini, Benua Etam masih bergantung pada suplai pangan dari daerah lain seperti Jawa dan Sulawesi. Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis, tak memungkiri bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kaltim masih bertumpu pada sektor sumber daya alam, terutama pertambangan. Namun, ia meyakini bahwa Kaltim memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada pangan, mengingat luasnya wilayah yang tersedia. Ananda menyoroti pentingnya pemerintah menyusun database yang komprehensif untuk memetakan potensi wilayah di Kaltim. la menilai, langkah ini menjadi fondasi penting untuk merancang cetak biru ketahanan pangan, terutama sebagai penyangga kebutuhan IKN. "Kita belum punya data konkret soal pertanian di setiap kabupaten/kota. Berapa luas lahannya? Bagaimana kualitas tanahnya, subur atau tidak? Cocoknya ditanami apa? Kalau kita punya database lengkap, saya yakin kita tidak perlu lagi mengandalkan pasokan dari luar. Kita bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri," ungkap Ananda. la menambahkan bahwa sejauh ini, Kutai Kartanegara (Kukar), Paser, dan Penajam Paser Utara (PPU) sudah dikenal sebagai lumbung pangan di Kaltim. Namun, ia meyakini wilayah lain juga memiliki potensi serupa jika dikelola dengan baik. Ananda menekankan perlunya pemetaan menyeluruh dari hulu ke hilir. "Yang paling penting, mulailah dengan database. Setelah itu, pemerintah harus menjadikannya prioritas, dari pusat hingga kabupaten/kota. Selain fokus pada SDA, kita juga harus memastikan ketahanan pangan, terutama untuk kebutuhan kita sendiri," tuturnya. la juga mendorong pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada pengembangan food estate di Kaltim sebagai salah satu solusi strategis. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tetap berpihak pada kesejahteraan petani lokal. "Jika dilakukan dengan serius, food estate bukan hanya bisa memperkuat swasembada pangan, tapi juga meningkatkan kesejahteraan petani. Jadi, semua pihak harus bergandengan tangan untuk mewujudkan ini," pungkasnya. (adv/hms7)