Sharing Pendalam Ranperda Desa Adat, Pansus PKDA Kunjungan Kerja ke NGO HuMa Indonesia

Jumat, 12 Juli 2024 60
SHARING : Pansus PKDA saat berdiskusi dengan NGO HuMa Indonesia terkait pendalaman materi Ranperda Tentang Pembentukan Kelembagaan Desa Adata (PKDA) Provinsi Kalimantan Timur, Jumat (12/7/2024)

JAKARTA. Guna memberikan kepastian desa adat dalam memperkuat hak-hak masyarakat hukum adat di Kaltim. Pansus DPRD Kaltim Pembahas Ranperda Tentang Pembentukan Kelembagaan Desa Adata (PKDA) Provinsi Kalimantan Timur melakukan kunjungan sharing pendalaman terkait materi ranperda ke Non Government Organization (NGO) HuMa Indonesia, di Jakarta, Jumat (12/7/2024).

 

Pansus yang diketuai Rusman Yaqub ini mengatakan, kedatangan pansus ke HuMa Indonesia merupakan pilihan yang tepat, mengingat materi yang dipaparkan pihak HuMa banyak memberikan masukan kepada pansus.

 

“Kita datang ke sini tepat sekali, karena apa yang dipaparkan oleh teman-teman HuMa itu sangat mendasar, dan itu membukakan cakrawala pansus, bahwa bicara tentang kelembagaan desa adat itu tidak hanya sekedar dilihat dari aspek kelembagaannya semata, tapi yang paling penting adalah substantif masyarakatnya, kawasannya dan lain sebagainya,” ujar Rusman.

 

Selain itu, berdasarkan hasil diskusi, pemetaan yang dilakukan HuMa disampaikan Rusman sangat menginspirasi pansus. “Sehingga masukan-masukan yang disampaikan HuMa ini, akan menjadi referensi pansus dalam pembahasan selanjutnya,” sebut dia.

 

Lebih lanjut dikatakan Politisi PPP ini, bicara tentang desa adat, tentu tidak terlepas dari aspek kawasannya. Karena itu, pansus sebut Rusman mengusulkan agar narasumber dalam uji publik mendatang, melibatkan pihak HuMa. “Saya sudah mengusulkan ke teman-teman staf dan tenaga ahli pansus. Pada saat uji publik, salah satu narasumbernya dari pihak HuMa. Supaya nanti membuka cakrawala kita semua,” bebernya.

 

Ia juga menekankan, agar pansus memperhatikan betul aspek-aspek sosial yang ada di masayarakat, dan tidak gegabah dalam menghasilkan perda. “Jujur saja, perda ini kan tidak boleh gegabah. Jangan sampai perda ini justru lahir bagian dari menambah masalah. Kita mau perda ini mampu menyelesaikan persoalan yang ada, khususnya terkait masalah kelembagaan adat,” jelas Rusman. 

 

“Maka dari itu, saya dan teman-teman pansus sepakat, bahwa perda ini benar-benar bisa terimplementasi dengan baik dan mampu mengakomodir persoalan yang ada di Kaltim. Karena faktanya, selama ini, banyak sekali kasus-kasus yang berbenturan maupun beririsan langsung dengan persoalan desa adat, hutan adat, dan lain sebagainya,” tambahnya.

 

Terpenting kata dia, perda yang ada di provinsi ini hanya sebagai payung hukum yang ada di bawah. Untuk materi subtansi dan teknisnya, regulasi turunannya berada di kabupaten dan kota. “Kita sebatas membuat ruang saja, buat payungnya, tapi nanti secara substantif pelaksanaannya ada di kabupaten dan kota,” jelas Anggota Komisi IV DPRD Kaltim ini. 

 

Karenanya, DPRD Kaltim menganggap, agar dapat mencapai harmonisasi hukum di masyarakat adat dan memberikan kepastian hukum, diperlukan peraturan daerah yang mengatur secara teknis dan aplikatif mengenai pembentukan lembaga desa adat. Selain itu, regulasi ini diharapkan dapat memperkuat hak-hak masyarakat adat di Kaltim.


“Pansus berharap, dengan adanya peraturan daerah ini, diharapkan dapat tercipta keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat adat serta memperkuat kedudukan dan keberlanjutan lembaga desa adat,” pungkas Rusman. (hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.