Perlu Dukungan Atasi Konflik Sawit dan Tambang, DPRD Kabupaten Kutai Barat Kunjungan Kerja ke DPRD Kaltim

Kamis, 21 Agustus 2025 4
KUNJUNGAN KERJA – Wakil Ketua I DPRD Kaltim Ekti Imanuel menerima kunjungan kerja Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Barat
SAMARINDA — Wakil Ketua I DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Ekti Imanuel, menerima kunjungan kerja Tim II Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Kamis (21/8/2025), di Gedung E Lantai I Kantor DPRD Kaltim. Rombongan dipimpin oleh Wakil Ketua I DPRD Kubar, Agustinus, bersama Wakil Ketua II, Sepe Martinus. Kunjungan tersebut bertujuan untuk melakukan audiensi terkait sejumlah persoalan strategis di daerah, khususnya menyangkut program plasma kelapa sawit dan konflik ganti rugi lahan masyarakat Kampung Intu Lingau.

Ekti Imanuel menyoroti lemahnya komitmen perusahaan sawit dalam merealisasikan kewajiban plasma 20 persen kepada masyarakat. Ia juga menanggapi keluhan warga Kampung Intu Lingau yang merasa dirugikan akibat pembebasan lahan yang tidak transparan. “Bahkan ada patok perusahaan yang masuk ke tengah kampung. Ini jelas merugikan masyarakat,” tegas Ekti.

Selain itu, hasil temuan Panitia Khusus (Pansus) Tambang DPRD Kubar juga menjadi sorotan. Banyak ruas jalan tambang dinilai tidak memenuhi standar keselamatan, minim pengawasan, dan rawan kecelakaan. “Mungkin tidak ada pos jaga, sehingga beberapa kali terjadi insiden kecelakaan lalu lintas,” ujar Ekti, yang juga merupakan politisi Partai Gerindra.

Ia mendukung penuh keberlanjutan kerja pansus baik di sektor sawit maupun tambang, dan menekankan agar hasil kajian pansus tidak buru-buru diparipurnakan sebelum semua aspek terpenuhi. Ekti juga mengapresiasi kunjungan DPRD Kubar sebagai bentuk silaturahmi dan koordinasi kelembagaan. “Saya ini wakil rakyat dari dapil Kubar dan Mahulu. Jadi apa pun yang dibutuhkan dan ingin disampaikan oleh DPRD Kubar, saya siap meneruskan ke pemerintah provinsi,” ujarnya.

Sementara itu, Agustinus menjelaskan bahwa DPRD Kubar telah membentuk dua pansus, yakni Pansus Batu Bara yang diketuai Potit dan Pansus Sawit yang diketuai Oktovianus Jack. Ia mengungkapkan bahwa selama proses pansus berlangsung, banyak hambatan ditemukan di lapangan, terutama terkait aktivitas perusahaan sawit dan konflik lahan. “Karena itu, kami datang untuk berkoordinasi dengan DPRD Provinsi Kaltim. Bahkan masyarakat Kampung Intu Lingau turut hadir bersama kami sebagai bentuk keprihatinan,” kata Agustinus.

Ia menambahkan bahwa DPRD Kubar cukup kewalahan menghadapi dampak kegiatan perusahaan sawit, baik dari sisi penyerobotan lahan maupun pelaksanaan program plasma yang tidak berjalan semestinya. (hms8)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)