Perdalam Materi Ranperda

Selasa, 15 Maret 2022 116
HEARING : Pansus pembahas Ranperda RIPPAR melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan PUTRI Kaltim, ASITA Kaltim, ICA Kaltim, IHGMA Kaltim, dan MASATA Kaltim, Senin (14/3)
SAMARINDA. Panitia khusus (Pansus) pembahas Ranperda tentang Rencana Iduk Pembangunan Kepariwisata (RIPPAR) Prov. Kaltim menggalar rapat dengar pendapat (RDP) dengan sejumlah pelaku usaha, Senin (14/3) kemarin.

Rapat tersebut dipimpin langsung Ketua Pansus Verydiana Huraq Wang dengan dihadiri sejumlah anggota pansus yakni M Udin, Rusman Yaqub, Nidya Listiyono, Abdul Kadir Tappa, Baharuddin Muin, dan Yeni Eviliana.

Adapun pelaku usaha yang hadir yakni, Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Kaltim, Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Kaltim, Indonesian Chef Association (ICA) Kaltim, Indonesian Hotel General Manager Assosiacion (IHGMA) Kaltim, Masyarakat Sadar Wisata (MASATA) Kaltim.

Dikatakan Verydiana, capaian dari pembetukan regulasi pariwisata ini ialah perda tidak berjalan sendiri, melainkan sebagai payung hukum untuk praktisi di lapangan. “Jadi jangan ini ada perda, tapi di lapangan ada berbeda persoalan yang tidak diakomodir dalam perda,” ujarnya

Pansus sengaja mengundang para pelaku guna mensingkronkan, antara keinginan pemerintah dengan kebutuhan para pelaku usaha. Hal ini agar regulasi yang dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan semua pihak untuk kemajuan wisata Kaltim

“Makanya kita mencari koneknya seperti apa. Jangan sampai misalnya, pemerintah maunya ekowisata sementara di lapangan tidak semua daerah memilikinya (ekowisata), kan ada wisata buatan ataupun agrowista. Jadi kita ingin ini sejalan, Perda ini begini mereka di lapangan juga bisa merasakan manfaatnya perda ini,” kata Very, sapaan akrabnya.

Untuk itu, para pelaku usaha diminta menyampaikan pendapat dan usluan dalam menyempurnakan draf ranperda tersebut. “Kami memberikan kesempatan mereka untuk curhat, apa sih kendala dan kebutuhanya di lapangan terkait dengan pengembangan pariwisata di Kaltim,” jelas Ketua Komisi III DPRD Kaltim ini.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Pansus M Udin. Menurut dia, konteks daripada pariwisata sangat banyak, seperti berkaitan infrastruktur, maupun kelembagaan. “Memang perlu kita duduk bersama dengan pihak swasta dan pemerintah, bagaimana cara mengembangkan pariwisata yang ada, baik itu pariwisata dari alam maupun pariwisata buatan,” harapnya.

Adapun kendala pariwisata saat ini dialami yakni kebijakan pembuatan peraturan ini tidak jangka panjang. Sedangkan pelaku usaha berharap kebaijakan ini  bisa jangka panjang. “Karena berbicara pariwisata, tidak terlepas dengan kontrak ataupun kerjasama dengan pihak swasta,” sebut Udin.

Berkaitan dengan regulasi, diharapakan ada aturan yang mampu mencakup multi pemanfaatan. Udin mencontohkan, pembangunan pariwisata dengan konsep rekreasi penangkaran buaya. Selain tempat rekreasi, juga diharapkan pemanfaatan yang lain seperti penggunaan kulit buaya sebagai bahan kerjinan.

“Artinya, penangkaran dan pengembangbiakan buaya tetap jalan, tetapi juga diperbolehkan mengelola ataupun pemanfaatan yang lain, seperti pembuatan tas dari kulit buaya. Nah, regulasi seperti ini lah yang diusulkan,” ucap Politisi Golkar ini.

Sementara itu, Dian Rosita  salah satu perwakilan PUTRI Kaltim mengaku usulan dan saran yang disampaikan kepada pansus ialah untuk kemajuan dan kesuksesan pariwisata Kaltim. “Apa yang terjadi di lapangan, sebagai pelaku kami pasti tahu kebutuhannya seperti apa, dan kami harap kebijakan yang dibuat itu nanti benar-benar sesuai dengan kejadian dan kebutuhan yang ada di lapangan,” harap dia.

Apa yang telah disampaikan kepada pansus kata dia merupakan kiat sukses membuat pariwisata Kaltim maju. “Yang kita sampaikan, terutama masalah kebijakan maupun regulasi dan segala macamnya, kemudian kebutuhan-kebutuhan Kita di lapangan, organisasi kelembagaan untuk menciptakan suatu industri, kemudian menciptakan kemandirian masyarakat, memaksimalkan CSR untuk pengembangan destinasi pariwisata itu sendiri, juga kerjasama swasta dan pemerintah untuk memaksimalkan aset daerah,” terang dia.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menyampaikan persoalan akses menuju tempat wisata. Perempuan yang akrab disapa Dian ini mengaku, akses merupakan aspek yang sangat mempengaruhi pariwisata di Kaltim.

“Akses jalan, kalau kita katakan sederhana, tapi itu sangat mempengaruhi, karena pariwisata kan terkenal dengan pariwisata mahal. Sebenarnya nggak masalah mahal, asalkan nyaman. Karena pariwisata, salah satunya adalah produk branding atau pencitraan. Jadi infrastruktur sangat penting sekali,” tandasnya. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.