Wakil Ketua DPRD Kaltim Hadiri Fashion Show Adat di Festival Gita Nusantara 2025

Minggu, 22 Juni 2025 39
Festival Gita Nusantara dan Pekan Daerah (PEDA) XI Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) se-Kalimantan Timur, Minggu malam (22/6/2025).
SENDAWAR – Suasana meriah menyelimuti Taman Budaya Sendawar pada Minggu malam (22/6/2025), saat digelar pentas seni dan Fashion Show dalam rangka Festival Gita Nusantara dan Pekan Daerah (PEDA) XI Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) se-Kalimantan Timur. Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Ekti Imanuel, turut hadir dan memberikan apresiasi tinggi terhadap ajang kebudayaan tersebut. Ekti yang juga menjabat sebagai Ketua KTNA Kutai Barat menyebut kegiatan ini bukan sekadar agenda rutin tahunan, namun menjadi panggung penting dalam memperkenalkan kekayaan adat dan budaya yang dimiliki oleh kabupaten/kota se-Kaltim.

“Ini bukan hanya pertunjukan seni, tapi momentum untuk memperkuat identitas budaya daerah. Kita harus bangga dengan warisan leluhur dan memperkenalkannya secara luas,” ujar Ekti di sela-sela acara.

Fashion Show kali ini menampilkan busana adat dari 10 kabupaten dan kota se-Kalimantan Timur, mencerminkan keragaman etnis dan kekayaan budaya yang hidup harmonis di Bumi Etam. Penampilan para peserta berhasil memukau tamu undangan dan masyarakat yang memadati lokasi acara.

Usai menyaksikan pentas seni, Ekti Imanuel melanjutkan kunjungannya ke salah satu stan unggulan milik petani lokal, yakni “Kopi Linggang”. Di sana, ia berdialog dengan pengunjung serta pelaku UMKM yang turut ambil bagian dalam PEDA XI KTNA 2025.

Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian upaya pemberdayaan petani dan nelayan, sekaligus penguatan sektor ekonomi kreatif berbasis lokal di Kutai Barat.
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)