Reza Akan Tindaklanjuti Aduan Petani

Selasa, 27 Juli 2021 156
Reza Fachlevi (kiri) bersama petani saat meninjau sawah petani di Dusun Sidorejo, Kabupaten Kutai Kartanegara, Minggu (25/7)
Samarinda. Anggota DPRD Kaltim dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara, Achmed Reza Fachlevi Minggu (25/7) terjun langsung melihat kondisi sawah petani di Dusun Sidorejo. Reza mengaku heran dengan kondisi yang memprihatinkan, Sebab menurutnya, nasib petani tidak seharusnya terus diabaikan.

Hal itu disampaikan Reza, sapaan akrabnya saat dirinya menemui warga petani didaerah tersebut. Masalah tersebut berawal dari Rice Processing Unit (RPU) atau penggilingan padi milik Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar) di Tenggarong Seberang, mulanya disiapkan untuk menampung gabah kering hasil panen petani di Kukar. Namun, belakangan muncul pengakuan, gabah kering dari petani sulit diterima RPU karena dinilai tidak memenuhi standar gabah yang ditetapkan RPU yang berada di Desa Karang Tunggal.

RPU yang diresmikan sejak 2002 silam itu, dirancang mampu memenuhi kebutuhan produksi beras yang dipasok dari sejumlah kecamatan di Kukar seperti Tenggarong Seberang, Sebulu, dan Muara Kaman. Sayangnya, sejak 2007, petani di Kukar belum menikmati fasilitas RPU tersebut. Pengakuan itu dilontarkan oleh empat kelompok tani di Dusun Sidorejo Kecamatan Sebulu. “Gabah kami tidak diterima di RPU karena dianggap belum kering atau belum sesuai. Padahal kalau kami jemur selama dua sampai tiga hari gabah sudah kering dan bisa dijual,” ungkap Sumarmo anggota

Kelompok Tani Mekar Sari. Namun Sumarmo merasa heran atas standar gabah kering yang ditetapkan RPU. Pasalnya, tingkat kekeringan gabah petani untuk disesuaikan dengan standar gabah kering RPU sulit diukur petani. Dengan situasi demikian, Sumarmo dan anggota kelompok tani lainnya terpaksa harus menjualnya kepada tengkulak. Akhirnya dijual ke tengkulak dengan harga yang tidak ekonomis. Dari idnformasi petani bahwa gabah kering dijual dengan harga Rp4300 per kilo, lalu Rp4000 per kilo. Dan paling tinggi Rp 6000, padahal biaya tanam per hektarnya sekitar enam juta.

Di Dusun Sidorejo ini, terdapat empat kelompok tani yang masing-masing beranggotakan 38 orang. Seluruhnya seluas 297 hektar sawah yang ditanami empat jenis padi. Sawah tadah hujan itu ditanami jenis padi 64, Mikongga, Padi Wangi dan Inpari. Sumarmo menyebut, setiap kali panen, sawah mereka menghasilkan gabah kering 3,5 sampai 4 ton per hektarnya. Tidak cukup hanya saat musim panen, Sumarmo dan rekan-rekannya juga menghadapi masalah manakala saat musim tanam tiba.“Karena sawah tadah hujan, kalau tidak ada air ya repot nanamnya. Caranya pakai pompa tapi kalau air disungai tidak kering. Karena di sini tidak ada bendungan untuk mengairi sawah,” beber Sumarmo.

Petani setempat selama ini juga tidak terlepas dari ancaman tambang batubara yang banyak membeli lahan milik petani dengan iming-iming uang tunai. Ketimbang bertani yang tidak jelas kelangsungannya, sejumlah warga memilih melepaskan sawahnya untuk ditambang. Selain itu, saat mengunjungi warga di Desa Manunggal Daya, Kecamatan Sebulu Kabupaten Kutai Kartanegara. Warga setempat yang juga umumnya berprofesi petani mengharapkan bantuan traktor, rotary dan pembangunan Dam untuk mengairi sawah.

Menanggapi Masalah ini semua Reza akan kita sampaikan ke Dinas Pertanian. Sawah mereka harus dilindungi dan dipertahankan karena ini juga program pemerintah yang dikawal DPRD. Dengan begitu, politisi Gerindra itu akan memastikan persoalan petani di dapilnya tersebut segera menemukan solusi. “Masalah ini segera diselesaikan, pertanian ini masalah mendesak,” pungkas Reza (adv/hms5)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)