Samarinda — Temuan praktik pengoplosan beras oleh lebih dari 200 merek di Indonesia, termasuk yang beredar di Kalimantan Timur, memicu kekhawatiran serius di kalangan legislatif.
DPRD Kaltim menilai skandal ini bukan sekadar pelanggaran etik dagang, melainkan ancaman sistemik terhadap hak konsumen dan stabilitas pangan daerah.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Firnadi Ikhsan, menyebut bahwa lemahnya pengawasan dan transparansi distribusi pangan menjadi akar masalah. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan
sidak insidental. Harus ada reformasi sistem pengawasan, dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Firnadi juga mengusulkan pembentukan Tim Pengawasan Terpadu lintas instansi, termasuk melibatkan unsur legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil. “Kita perlu audit menyeluruh
terhadap rantai pasok beras, termasuk mekanisme pelabelan dan sertifikasi kualitas,” tambahnya.
Menurut data Kementerian Pertanian, praktik pengoplosan beras dapat menyebabkan selisih harga hingga Rp 3.000 per kilogram. Jika berlangsung selama satu dekade, potensi kerugian nasional diperkirakan mencapai Rp 1.000 triliun.
Di Kaltim, lonjakan harga beras premium dan keluhan konsumen mulai bermunculan, terutama di Balikpapan dan Samarinda. DPRD Kaltim mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat edukasi publik terkait identifikasi beras layak konsumsi. “Kita harus pastikan masyarakat tahu cara membedakan beras asli dan oplosan. Ini bukan hanya soal harga, tapi
soal kesehatan,” ujar Firnadi.
Ia menambahkan bahwa Komisi II tengah menyusun rekomendasi regulatif untuk memperketat standar kemasan, label, dan distribusi beras di wilayah Kaltim. “Kalau perlu, kita dorong perda khusus perlindungan konsumen pangan,” katanya.
DPRD Kaltim juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat edukasi publik terkait identifikasi beras layak konsumsi. Di tengah lonjakan harga dan keluhan konsumen di Balikpapan dan Samarinda, Firnadi menekankan pentingnya literasi pangan. “Ini bukan hanya soal harga, tapi soal kesehatan,” pungkasnya.(hms6)
DPRD Kaltim menilai skandal ini bukan sekadar pelanggaran etik dagang, melainkan ancaman sistemik terhadap hak konsumen dan stabilitas pangan daerah.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Firnadi Ikhsan, menyebut bahwa lemahnya pengawasan dan transparansi distribusi pangan menjadi akar masalah. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan
sidak insidental. Harus ada reformasi sistem pengawasan, dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Firnadi juga mengusulkan pembentukan Tim Pengawasan Terpadu lintas instansi, termasuk melibatkan unsur legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil. “Kita perlu audit menyeluruh
terhadap rantai pasok beras, termasuk mekanisme pelabelan dan sertifikasi kualitas,” tambahnya.
Menurut data Kementerian Pertanian, praktik pengoplosan beras dapat menyebabkan selisih harga hingga Rp 3.000 per kilogram. Jika berlangsung selama satu dekade, potensi kerugian nasional diperkirakan mencapai Rp 1.000 triliun.
Di Kaltim, lonjakan harga beras premium dan keluhan konsumen mulai bermunculan, terutama di Balikpapan dan Samarinda. DPRD Kaltim mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat edukasi publik terkait identifikasi beras layak konsumsi. “Kita harus pastikan masyarakat tahu cara membedakan beras asli dan oplosan. Ini bukan hanya soal harga, tapi
soal kesehatan,” ujar Firnadi.
Ia menambahkan bahwa Komisi II tengah menyusun rekomendasi regulatif untuk memperketat standar kemasan, label, dan distribusi beras di wilayah Kaltim. “Kalau perlu, kita dorong perda khusus perlindungan konsumen pangan,” katanya.
DPRD Kaltim juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat edukasi publik terkait identifikasi beras layak konsumsi. Di tengah lonjakan harga dan keluhan konsumen di Balikpapan dan Samarinda, Firnadi menekankan pentingnya literasi pangan. “Ini bukan hanya soal harga, tapi soal kesehatan,” pungkasnya.(hms6)