Bapemperda Audiensi Bersama Akademisi Unmul, Bahas Usulan Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Desa Adat di Kaltim

Senin, 6 Maret 2023 97
Bapemperda DPRD Kaltim dan Akademisi Fakultas Hukum Unmul saat berdisuksi terkait usulan pembentukan Perda Desa Adat, Kamis (2/3) lalu.
SAMARINDA. Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kaltim bersama sejumlah Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, menggelar audiensi dalam rangka menyampaikan usulan pembentukan peraturan terkait dengan bagaimana mengakui, mengakomodasi dan melakukan perlindungan terhadap Desa Adat yang ada di Kaltim sesuai dengan mandatory Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014.

Sesuai dengan peraturan yang ada, Kaltim sampai saat ini memang belum ada membentuk regulasi yang mengatur tentang keberadaan Desa Adat. Atas dasar itu, melalui audiensi tersebut DPRD Kaltim bersama Akdemisi Unmul segera membentuk peraturan daerah terkait dengan pengakuan terhadap Kelembagaan Desa Adat, Kamis (2/3) lalu

Merespon usulan tersebut, Ketua Bapemperda DPRD Kaltim, Rusman Yaqub meminta kepada Akademisi Fakultas Hukum supaya lebih memperkuat lagi kajiannya terhadap usulan regulasi tersebut. “Khususnya terkait dengan bagaimana perbedaan prinsip antara desa budaya dengan desa adat itu, kemudian bagaimana menghindari terjadi benturan benturan kepentingan saat perubahan status itu, dan bagaimana mekanismenya, bagaimana pola struktur kepemimpinannya, serta bagaimana status kelembagaan. Sehingga itu nantinya tidak multitafsir, sehingga tidak terjadi persoalan-persoalan baru. Jangan sampai perda ini nantinya justru melahirkan konflik baru antara desa adat dengan desa biasa,” terang Rusman.

Sementara itu salah satu Dosen Fakultas Hukum Unmul, Haris Retno menjelaskan pihaknya mengusulkan agar Bapemperda DPRD Kaltim dapat segera membentuk Raperda tentang Desa Adat. Tujuan pembentukan itu diusulkan pihaknya juga sesuai dengan amanah Undang-Undang, dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim wajib menyediakan regulasi kelembagaan desa adat. "Ini menjadi sangat penting karena potensi pengakuan dan pembentukan desa adat di Kaltim sangat besar, dari regulasi itu juga dapat dijadikan pintu masuk bagi masyarakat desa adat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan," jelasnya.

Ia berharap, dari usulan itu dapat ditindaklanjuti oleh DPRD Kaltim mengenai pembentukan aturan, selain itu apabila telah terbentuk, regulasi itu bisa menjadi landasan pengakuan dan mendapatkan akses terhadap pembangunan pemerintahan. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)