Komisi III DPRD Kaltim Soroti Persoalan Tambang yang Kian Kompleks, Butuh Solusi Konkret dan Sinergi Antar Lembaga untuk Tata Kelola Tambang Berkeadilan

Rabu, 25 Juni 2025 73
Komisi III DPRD Kaltim bersinergi dengan Komisi XII DPR RI bahas solusi untuk tambang berkeadilan. Langkah konkret dimulai dari ruang dialog, membahas tambang ilegal, konflik lahan, dan penegakan regulasi bersama
JAKARTA— Dalam rangka membahas penguatan regulasi dan penataan ulang sektor pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim), Komisi III DPRD Kaltim melakukan audiensi intensif dengan Komisi XII DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (25/6/2025). Pertemuan ini menjadi momentum strategis dalam menyuarakan keprihatinan dan masukan dari daerah terhadap berbagai permasalahan sektor energi dan sumber daya mineral yang masih marak terjadi di Kaltim.

Rombongan Komisi III DPRD Kaltim dipimpin oleh Wakil Ketua Akhmed Reza Fachlevi, didampingi Sekretaris Komisi Abdulrahman KA, serta anggota lainnya yakn Sayid Muziburachman, Baharuddin Muin, Abdul Rahman Agus, Husin Djufrie, Syarifatur Syadiah, Abdul Rahman Bolong, dan Jahidin. Mereka diterima oleh Anggota Komisi XII DPR RI, Syafruddin, Sigit, dan Rico. Dalam penyampaiannya, Wakil Ketua Komisi III DPRD Katim Akhmed Reza Fachlevi menegaskan bahwa pihaknya selama tahun 2025 menghadapi ledakan permasalahan tambang. Salah satunya adalah masifnya aktivitas penambangan tanpa izin yang hingga kini belum tertangani secara tegas.

“Aktivitas ilegal ini bukan hanya merugikan negara secara fiskal, tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat dan melemahkan wibawa hukum,” ujarnya.

Selain itu, penggunaan jalan umum oleh perusahaan tambang untuk hauling dan crossing dinilai telah merusak infrastruktur publik serta membahayakan keselamatan warga. Tak hanya itu, banyak area tambang berada di sekitar pemukiman dan fasilitas umum, menciptakan potensi risiko jangka panjang bagi masyarakat.

“Belum lama ini kami menyaksikan dua kejadian longsor di Kutai Kartanegara, yakni di Desa Batuah dan Kelurahan Pendingin, sebagai dampak langsung dari lemahnya penataan dan pengawasan tambang,” ungkap pria yang akrab disapa Reza ini. Ia menyebut kejadian tersebut sebagai cerminan dari kegagalan sistemik dalam pelaksanaan tata ruang dan lingkungan.

Ia juga menyinggung lemahnya implementasi Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang menjadi kewajiban perusahaan berdasarkan Permen ESDM. Banyak perusahaan dinilai belum melaksanakan program secara transparan, inklusif, dan berkelanjutan.

“Bukan hanya masalah teknis, ini soal keadilan sosial. Masyarakat terdampak tambang harus mendapat manfaat nyata, bukan hanya janji-janji pemberdayaan,” tegas Reza. Komisi III kata dia mengharapkan, bahwa masukan ini dapat ditindaklanjuti oleh Komisi XII melalui Panja Minerba dan Panja Lingkungan. Dengan begitu, DPR RI dapat menyampaikan hasilnya kepada kementerian teknis dan aparat penegak hukum, terutama dalam mempercepat langkah-langkah pemberantasan tambang ilegal.

Anggota Komisi XII DPR RI Dapil Kaltim, Syafruddin, menyambut baik pemaparan tersebut. Ia berjanji akan mendorong pembahasan secara spesifik dalam panitia kerja.

“Negara mengalami kerugian besar akibat tambang ilegal, karena tidak ada PNBP yang masuk. Ini tak bisa dibiarkan. Kita akan dorong penanganannya di panja,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa regulasi tata ruang dan pengawasan harus diperkuat. “Kegiatan tambang ilegal ini bukan hanya menyalahi aturan, tapi juga mencoreng wajah negara. Komisi III DPRD Kaltim harus tetap mengawal temuan lapangan dan berkoordinasi intensif dengan kami,” imbuhnya.

Audiensi ini ditutup dengan kesepahaman bahwa penataan sektor tambang bukan sekadar urusan teknis dan administratif, tapi menyangkut keberlangsungan lingkungan, keamanan masyarakat, dan keadilan ekonomi. DPRD Kaltim berharap aspirasi yang disampaikan dapat menjadi bahan baku penyusunan regulasi baru, maupun revisi kebijakan lama yang belum menjawab tantangan lapangan. (adv/hms12)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)