Dorong Kemandirian Pangan Meski Keterbatasan Kewenangan, Ekti Imanuel Jadi Narasumber Temu Wicara PEDA XI KTNA 2025---sub

Sabtu, 21 Juni 2025 35
NARASUMBER : Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, saat menyampaikan pandangan strategis terkait kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal dalam temu wicara PEDA XI KTNA 2025 di Kutai Barat.
KUTAI BARAT — Dalam rangkaian kegiatan Pekan Daerah (PEDA) XI Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kalimantan Timur 2025, Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, hadir sebagai narasumber dalam temu wicara strategis yang membahas kebijakan dan fasilitasi legislatif untuk mewujudkan kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal, Sabtu (21/6) Acara yang digelar di Taman Budaya Sendawar, Kutai Barat, ini menjadi bagian penting dari forum PEDA XI KTNA yang diikuti lebih dari 1.700 peserta dari seluruh kabupaten dan kota se-Kaltim.

Dalam paparannya, pria yang akrab disapa Ekti menekankan bahwa DPRD Kaltim berperan aktif dalam memperkuat kebijakan pangan daerah melalui fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

“Kemandirian pangan harus dimulai dari desa, dari petani kita sendiri. DPRD hadir untuk memastikan kebijakan yang lahir benar-benar berpihak pada pelaku utama pertanian dan perikanan,” ujarnya.

Dirinya menegaskan bahwa upaya mewujudkan kemandirian pangan berbasis sumber daya lokal tidak lepas dari tantangan struktural, termasuk keterbatasan kewenangan legislatif dalam pemenuhan kebutuhan dasar petani.

“DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tapi dalam praktiknya, banyak kebutuhan petani seperti subsidi pupuk, alat pertanian, dan akses pasar yang berada di ranah eksekutif atau bahkan pemerintah pusat,” sebutnya.

Politisi Gerindra ini mencontohkan bahwa distribusi pupuk bersubsidi dan pengadaan alat mesin pertanian (alsintan) masih sangat tergantung pada kebijakan kementerian teknis. Meski demikian, DPRD Kaltim tetap berupaya maksimal melalui penguatan regulasi daerah, advokasi anggaran, dan fasilitasi program pemberdayaan petani.

“Kami mendorong revisi regulasi bantuan keuangan agar lebih fleksibel untuk sektor pertanian, serta memperjuangkan alokasi anggaran daerah yang responsif terhadap kebutuhan petani. Tapi kita juga harus jujur bahwa tidak semua bisa kami intervensi langsung,” tambahnya.

Ekti menekankan pentingnya sinergi antara DPRD, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat agar kebijakan pangan tidak terjebak dalam tumpang tindih kewenangan. Ia juga mengajak komunitas tani dan nelayan untuk aktif menyuarakan aspirasi agar menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan yang lebih adil dan tepat sasaran.

“PEDA KTNA ini adalah ruang strategis untuk menyatukan langkah. Kita ingin Kaltim tidak hanya menjadi penyangga IKN, tapi juga menjadi contoh provinsi yang mandiri secara pangan dan berdaulat secara kebijakan,” jelasnya.

Dalam sesi diskusi, berbagai aspirasi disampaikan peserta, mulai dari kebutuhan infrastruktur pertanian, akses teknologi, hingga pemasaran produk lokal. Menanggapi hal itu, Ekti menyatakan bahwa DPRD Kaltim siap mendorong alokasi anggaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan riil di lapangan.

“Melalui forum seperti ini, kita bisa menyusun langkah bersama untuk menjadikan Kalimantan Timur tidak hanya sebagai penyangga Ibu Kota Nusantara, tapi juga sebagai lumbung pangan yang mandiri dan berkelanjutan,” pungkasnya. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)