Pansus LKPj Hadirkan OPD, Konsultan dan Kontraktor Dalam Raker, Evaluasi Pembangunan Gedung Poli Jantung RSUD Kanujoso dan Gedung Pandurata RSUD AWS

Selasa, 7 Mei 2024 85
EVALUASI : Raker Pansus LKPj dengan pihak terkait membahas Pembangunan Gedung Poli Jantung RSUD Kanujoso dan Gedung Pandurata RSUD AWS, Selasa (7/5/2024)
BALIKPAPAN. Tindaklanjut persoalan Pembangunan Gedung Poli Jantung RSUD Kanujoso Djatiwibowo dan Pembangunan Gedung Perawatan Pandurata RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS), Pansus Pembahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur Kaltim Tahun Anggaran 2023 menggelar Rapat Kerja (Raker) dengan pihak terkait, Selasa (7/5/2024).

Pada rapat kali ini, Pansus yang diketuai Sapto Setyo Pramono menghadirkan Asisten I Setda Prov Kaltim Dinkes, Dinas PUPR-PERA, dan Inspektorat Kaltim, serta Direktur RSUD AWS, dan Direktur RSUD Kanujoso.

Tak hanya itu, pansus juga menghadirkan konsultan perencana, konsultan pengawas, serta kontraktor yang bertanggungjawab dan berkontrak dalam proses pembangunan Gedung Poli Jantung RSUD Kanujoso dan pembangunan Gedung Perawatan Pandurata RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS).

Disampaikan Sapto, dari hasil rapat kerja, ditemukan beberapa masalah yang semestinya tidak terjadi. Dari keterlambatan progres pembangunan, hingga terjadinya sengketa lahan dengan masyarakat. 

“Terjadinya keterlambatan pembangunan gedung yang ada di RSUD Kanujoso dan AWS dikarenakan kurangnya koordinasi antar pihak rumah sakit dengan OPD terkait. Seolah-olah rumah sakit itu bisa menjalankan kegiatan itu dengan sendirinya” ujarnya.

Untuk itu, Sapto dengan tegas mengatakan, hal ini sebagai bahan evaluasi ke depan, dan pansus akan merekomendasikan agar seluruh pembangunan fisik yang nilainya melebih Rp 2,5 Miliar, wajib di serahkan ke dinas teknis terkait.

“Dalam artian, tanggung jawab pembangunan seluruhnya diserahkan ke dinas teknis terkait, dalam hal ini Dinas PU. Sehingga, dari proses perencanaan, sampai proses pelaksanaan tidak terjadi kesalahan,” jelas Anggota Komisi II DPRD Kaltim ini.

Sementara, manajemen rumah sakit kata dia, cukup mengurusi tentang hal-hal yang menyangkut pelayanan kesehatan. “Kalau pembangunan fisik, serahkan pada ahlinya. Masa dokter ngurusin pembangunan dan lelang, gak nyambung jadinya. Disiplin ilmunya saja berbeda,” sindir Sapto.

Dirinya berharap, pembangunan gedung penunjang rumah sakit harus melibatkan Dinkes, yang notabenenya bahwa, Dinkes selaku pengguna anggaran. “Jangan sampai Dinas Kesehatan itu tidak dilibatkan. Karena semua BLUD rumah sakit itu, nyantolnya di Dinkes,” sebutnya.

Karena itu lanjut dia, seluruh rumah sakit wajib memberikan perencanaan yang matang atau roadmap. “Sehingga pemerintah tahu, kebutuhan apa saja yang akan dibangun, dan yang harus dibeli. Karena ini menyangkut masalah nyawa manusia,” jelas Sapto.

Menyangkut masalah sengketa lahan yang berimbas pada keterlambatan pembangunan Gedung Poli Jantung RSUD Kanujoso, Sapto menganggap bahwa, perihal ini terjadi dikarenakan proses perencanaan tidak benar. “Imbasnya apa, terjadi overlap atau tumpang tindih dengan tanah warga,” kata dia.

“Itu pun, pihak rumah sakit tidak pernah koordinasi, diskusi, dan konsultasi terhadap BPKAD selaku pemilik dan pemegang aset milik Pemprov Kaltim. Seyogyanya, pihak rumah sakit, Dinkes, BPKAD, dan Asisten II, berkoordinasi. Bukan jalan sendiri,” jelas Sapto.

Dirinya juga berharap, semua direktur berkoordinasi. Pasalnya, direktur utama rumah sakit kata dia, hanya sebatas KPA. “Pengguna  anggaran itu semuanya di Dinas Kesehatan. Jadi harus saling sinkron,” urai Politisi Golkar ini.

Sapto menekankan, bahwa menyangkut masalah pembangunan fisik, harus diserahkan kepada instansi teknis terkait. Sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku. “Tidak dibenarkan ada direksi rumah sakit melakukan proses pembangunan. Karena itu bukan jobdesk-nya,” tandas Sapto. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)