Pansus Bahas Masukan Dari Kementerian

Kamis, 1 Desember 2022 58
Ketua Pansus RTRW Baharuddin Demmu saat memimpin RDP bersama Perangkat Daerah terkait, Kamis (1/12).
SAMARINDA. Panitia Khusus (Pansus) Pembahas Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kaltim tahun 2022-2042 menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas PUPR-PERA Kaltim, Dinas Lingkungan Hidup Kaltim dan Biro Hukum Setda Kaltim, Kamis (1/12).

Rapat tersebut digelar untuk sinkronisasi perbaikan draf Ranperda RTRW Provinsi Kaltim pasca rapat koordinasi lintas sektor yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.

Memimpin rapat, Ketua Pansus RTRW Baharuddin Demmu didampingi Wakil Ketua Pansus Sapto Setyo Pramono, dan anggota Pansus yaitu Sutomo Jabir, H Baba, sejumlah Tenaga Ahli penyusun RTRW provinsi Kaltim serta hadir melalui daring yakni Rusman Ya’qub dan Sarkowi V Zahry.

Baharuddin Demmu mengatakan, yang menjadi bahan diskusi dalam rapat adalah masukan-masukan dari Kementerian ATR/BPN. “Masukan itu misalnya bicara tentang jalan nasional. Jalan nasional ini menghubungkan ini itu dicek satu-satu,” sebutnya.

Ketua Fraksi PAN ini menyampaikan bahwa Kementerian meminta agar Pansus tidak bertentangan dengan RTRW nasional dan sebagai acuannya. Kemudian usulan-usulan dari kabupaten/kota juga harus disesuaikan.

“Baru bicara tentang legal drafting dan tata bahasanya, jadi lebih kepada itu,” ujar politisi yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi I ini.

Ia menerangkan, di Pansus masih ada pembahasan mengenai holding zone. Seperti wilayah kawasan hutan sekitar 66 ribu hektar yang akan dijadikan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL).

“Kami (Pansus) tetap berpegang bahwa itu tidak usah di APL kan, tapi lebih baik dikembalikan mejadi kawasan hutan setelah izinnya selesai. Apalagi kan Kaltim ini adalah wilayah karbon, kan kita lagi jual karbon, dapat duit katanya 200 miliar,” ungkapnya.

Kemudian lanjutnya, walaupun Pansus bersurat agar dikembalikan pada kawasan, namun keputusan itu tetap pada Kementerian ATR/BPN.

“Tapi kami tetap pada posisi tadi, diskusinya adalah dengan teman-teman bahwa kembalikan aja ke semula sebagai wilayah kawasan setelah izinnya habis,” ujarnya.

Bila dilihat usulan-usulan masyarakat, lanjut dia, semisal hutan adat lalu perhutanan sosial, sudah terakomodir. Dimana dari sekitar 77 ribu hektar dan bila ada penetapan kawasan hutan adat oleh kabupaten/kota maka penambahan masih dimungkinkan.

Terkait usulan tambang, dari luasan tambang sekitar 5,8 juta hektar. Yang menjadi pembahasan awal adalah potensi wilayah pertambangan di Kaltim sekitar 10,7 juta hektar.

Kemudian Pansus meminta kepada pihak pemerintah yang hadir untuk memunculkan kembali jumlah izin-izin dan luasan
tersebut.

“Kami minta, izin-izin yang sudah dicabut ini dikembalikan sesuai peruntukan RTRW. Jadi nanti ada data, berapa ribu hektar sih sekarang wilayah Kaltim. Dari 10,7 juta hektar itu yang izinnya masih berlaku. Nah, yang sudah dicabut, kita minta supaya peruntukannya sesuai dengan fungsi RTRW,” pungkasnya. (adv/hms8)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)