Pansus Bahas Masukan Dari Kementerian

Kamis, 1 Desember 2022 72
Ketua Pansus RTRW Baharuddin Demmu saat memimpin RDP bersama Perangkat Daerah terkait, Kamis (1/12).
SAMARINDA. Panitia Khusus (Pansus) Pembahas Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kaltim tahun 2022-2042 menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas PUPR-PERA Kaltim, Dinas Lingkungan Hidup Kaltim dan Biro Hukum Setda Kaltim, Kamis (1/12).

Rapat tersebut digelar untuk sinkronisasi perbaikan draf Ranperda RTRW Provinsi Kaltim pasca rapat koordinasi lintas sektor yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.

Memimpin rapat, Ketua Pansus RTRW Baharuddin Demmu didampingi Wakil Ketua Pansus Sapto Setyo Pramono, dan anggota Pansus yaitu Sutomo Jabir, H Baba, sejumlah Tenaga Ahli penyusun RTRW provinsi Kaltim serta hadir melalui daring yakni Rusman Ya’qub dan Sarkowi V Zahry.

Baharuddin Demmu mengatakan, yang menjadi bahan diskusi dalam rapat adalah masukan-masukan dari Kementerian ATR/BPN. “Masukan itu misalnya bicara tentang jalan nasional. Jalan nasional ini menghubungkan ini itu dicek satu-satu,” sebutnya.

Ketua Fraksi PAN ini menyampaikan bahwa Kementerian meminta agar Pansus tidak bertentangan dengan RTRW nasional dan sebagai acuannya. Kemudian usulan-usulan dari kabupaten/kota juga harus disesuaikan.

“Baru bicara tentang legal drafting dan tata bahasanya, jadi lebih kepada itu,” ujar politisi yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi I ini.

Ia menerangkan, di Pansus masih ada pembahasan mengenai holding zone. Seperti wilayah kawasan hutan sekitar 66 ribu hektar yang akan dijadikan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL).

“Kami (Pansus) tetap berpegang bahwa itu tidak usah di APL kan, tapi lebih baik dikembalikan mejadi kawasan hutan setelah izinnya selesai. Apalagi kan Kaltim ini adalah wilayah karbon, kan kita lagi jual karbon, dapat duit katanya 200 miliar,” ungkapnya.

Kemudian lanjutnya, walaupun Pansus bersurat agar dikembalikan pada kawasan, namun keputusan itu tetap pada Kementerian ATR/BPN.

“Tapi kami tetap pada posisi tadi, diskusinya adalah dengan teman-teman bahwa kembalikan aja ke semula sebagai wilayah kawasan setelah izinnya habis,” ujarnya.

Bila dilihat usulan-usulan masyarakat, lanjut dia, semisal hutan adat lalu perhutanan sosial, sudah terakomodir. Dimana dari sekitar 77 ribu hektar dan bila ada penetapan kawasan hutan adat oleh kabupaten/kota maka penambahan masih dimungkinkan.

Terkait usulan tambang, dari luasan tambang sekitar 5,8 juta hektar. Yang menjadi pembahasan awal adalah potensi wilayah pertambangan di Kaltim sekitar 10,7 juta hektar.

Kemudian Pansus meminta kepada pihak pemerintah yang hadir untuk memunculkan kembali jumlah izin-izin dan luasan
tersebut.

“Kami minta, izin-izin yang sudah dicabut ini dikembalikan sesuai peruntukan RTRW. Jadi nanti ada data, berapa ribu hektar sih sekarang wilayah Kaltim. Dari 10,7 juta hektar itu yang izinnya masih berlaku. Nah, yang sudah dicabut, kita minta supaya peruntukannya sesuai dengan fungsi RTRW,” pungkasnya. (adv/hms8)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.