Evaluasi Program Kerja Dishub Tahun Anggaran 2023, Komisi III Gelar Rapat Kerja Bersama Dishub Kaltim

Selasa, 26 Maret 2024 69
Komisi III DPRD Kaltim saat melakukan Rapat Kerja terkait Evaluasi Program Kerja Tahun Anggaran 2023, di Ballroom Platinum Hotel dan Comvention Hall Balikpapan, Selasa (26/3/2024)
BALIKPAPAN. Komisi III DPRD Kaltim bersama Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltim melakukan Rapat Kerja terkait Evaluasi Program Kerja Tahun Anggaran 2023, di Ballroom Platinum Hotel dan Comvention Hall Balikpapan, Selasa (26/3/2024)
Rapat dipimpin Ketua Komisi III Veridiana H Wang, didampingi Wakil Ketua Komisi III Syafruddin dan Sekretaris Komisi III Sarkowi V Zahry, serta sejumlah anggota komisi yakni Andi Harahap, Andi Faisal Assegaf, Amiruddin, H Baba, Safuad, Romadhony Putra Pratama, Ali Hamdi, Mimi Meriami BR Pane, Saefuddi Zuhri, M Udin.

Sementara, pihak Dinas Perhubungan Kaltim dihadiri Sekretaris Dishub Kaltim Yuki Subekti, didampingi Kepala UPTD Terminal Dishub Kaltim Jaka Purwa Indarta, serta sejumlah Staf Dishub Kaltim.

Disampaikan Veridiana, bahwa pada 2023 lalu, Dishub Kaltim mendapatkan anggaran sebesar Rp 90,7 miliar  termasuk perubahan. “Sedangkan untuk serapan anggaran mencapai Rp 83.9 miliar atau 92,50 persen. Ini sudah termasuk bagus, meskipun masih ada anggaran yang tidak terserap sekitar 7,50 persen,” sebutnya.

Selain itu, terdapat pekerjaan yang tidak selesai pada akhir 2023, dan dilanjutkan ke anggaran 2024 melalui Pergub Kaltim Nomor 71 Tahun 2013. “Kegiatan yang mengalami keterlambatan dan memerlukan tambahan waktu penyelesaian adalah pembangunan Terminal di Sangatta dan Bontang,” kata perempuan yang akrab disapa Veri ini.

Dari hasil diskusi antara Komisi III dengan Dishub Kaltim, diketahui bahwa pekerjaan pembangunan yang mengalami keterlambatan dan memerlukan tambahan waktu penyelesaian disebabkan kelangkaan material dan kekurangan tenaga kerja.
Selain terminal, persoalan jalan khusus tambang juga menjadi bahan evaluasi. Veri menyebutkan, masih banyak laporan dan aduan masyarakat terkait kendaraan tambang yang menggunakan jalan umum.

“Padahal Kaltim sudah ada Perda Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara dan Kelapa Sawit. Nah, dari penjelasan Dishub, Perda ini sedang dikaji ulang. Apakah direvisi, dicabut atau dibuat baru, karena beberapa pasal bertentangan dengan aturan lebih tinggi, yakni UU Minerba,” terang Politisi PDI Perjuangan ini.

Tak hanya itu, masalah kereta api juga masuk dalam pembahasan dan evaluasi. Wakil Rakyat asal Kabupaten Mahulu ini menegaskan, pentingnya memasukkan rencana perkeretaapian ke dalam program pemerintah. “Kaltim sudah saatnya memiliki kereta api,” ujar Veri.

Ia menjelaskan bahwa rencana awal kereta api adalah untuk angkutan batu bara khusus, namun di masa depan diharapkan dapat melayani penumpang dan barang umum. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa penganggaran untuk proyek ini memerlukan pertimbangan lebih lanjut mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan. “Kita harus memastikan visibilitas dan kelayakan proyek sebelum mengalokasikan anggaran yang sangat besar," kata dia.

Pun demikian, Veri optimistis kereta api ini dapat meningkatkan konektivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi di Kaltim, khususnya dalam mengangkut hasil bumi dan memudahkan mobilitas warga.(hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.