Bahas Proyeksi Belanja dan Pembiayaan Daerah, Banggar DPRD dan TAPD Matangkan KUA-PPAS 2026

Rabu, 3 September 2025 79
RAPAT ANGGARAN : Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, didampingi jajaran Pimpinan dan Ketua TAPD memimpin rapat kerja Banggar DPRD bersama TAPD Pemprov Kaltim dalam rangka penyusunan KUA-PPAS Tahun Anggaran 2026, Rabu (3/9).

SAMARINDA — Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Kalimantan Timur kembali menggelar rapat kerja bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Kaltim pada Rabu (3/9). Pertemuan ini membahas proyeksi belanja daerah dan pembiayaan daerah dalam rangka penyusunan dokumen Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun Anggaran 2026.

Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, turut dihadiri jajaran pimpinan DPRD Kaltim, anggota Banggar DPRD Kaltim, serta unsur TAPD Pemprov Kaltim. Agenda ini menjadi bagian penting dalam memastikan konsistensi dan kesinambungan antara dokumen KUA-PPAS 2026 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2026.

Selain itu, pembahasan diarahkan untuk menjamin bahwa program dan kegiatan yang direncanakan merupakan program prioritas yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud, menegaskan pentingnya konsistensi antara dokumen KUA-PPAS dengan RKPD. Penegasan itu disampaikan dalam pembukaan rapat pembahasan anggaran bersama TAPD. “Kita harus memastikan bahwa program dan kegiatan yang direncanakan merupakan prioritas nyata dan sesuai kebutuhan masyarakat,” ujar Hasanuddin, yang akrab disapa Hasan.

Ia menekankan bahwa seluruh perangkat daerah harus menyusun program berbasis keadilan dan selaras dengan dokumen perencanaan. “Kita tidak ingin ada ketidaksesuaian antara dokumen perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Program harus terukur dan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat,” tegasnya.

Senada dengan Hasan, Anggota Banggar DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, turut mengingatkan TAPD agar tetap berpegang pada prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penyusunan APBD.

“Kalau kita bicara soal APBD, maka strukturisasinya jelas, mulai dari RPJMD sampai ke level realisasi APBD. Dalam rangka efektivitas dan efisiensi, prinsip ‘Money Follow Program’ harus menjadi prioritas,” kata Agusriansyah.

Ia juga menekankan pentingnya prinsip value for money, yakni memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan manfaat nyata dan terintegrasi bagi masyarakat.

“Harus ada tolak ukur yang bisa kita lihat dalam capaian lima tahun ke depan untuk pemerintah,” tambahnya.

Agusriansyah menggarisbawahi urgensi sinkronisasi antar dokumen perencanaan. “Celah-celah persoalan sering muncul manakala sinkronisasi antara RPJMD, RKPD, KUA-PPAS, hingga ke level APBD dan realisasi tidak menjadi perhatian serius,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua TAPD, Sri Wahyuni, memaparkan komposisi APBD 2026 yang mencapai Rp 21,37 triliun, dengan rincian pendapatan daerah diproyeksikan sebesar Rp 20,45 triliun, ditambah pembiayaan dari SILPA sebesar Rp 900 miliar. “Untuk pengeluaran daerah direncanakan sebesar Rp 21,35 triliun,” ujar Sri Wahyuni dalam pemaparannya.

Ia menyebutkan, sebagian besar anggaran akan digunakan untuk belanja operasional sebesar Rp 10,99 triliun. “Termasuk di dalamnya belanja pegawai sebesar Rp 4,13 triliun dan belanja barang dan jasa sebesar Rp 6,40 triliun,” jelasnya.

Belanja modal dialokasikan sebesar Rp 3,11 triliun untuk pembangunan gedung, jalan, irigasi, dan pengadaan alat. “Belanja transfer ke kabupaten dan kota mencapai Rp 7,17 triliun, sedangkan belanja tidak terduga disiapkan Rp 70,21 miliar,” bebernya.

Sri Wahyuni yang juga menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kaltim menambahkan, belanja wajib tahun depan mencakup sektor pendidikan sebesar Rp 3,49 triliun, belanja pegawai Rp 3,87 triliun, serta pembangunan infrastruktur pelayanan publik sebesar Rp 5,12 triliun. 

Dana juga disiapkan untuk pelatihan ASN dan pengawasan. “Tema pembangunan Kaltim tahun 2026 sudah selaras dengan prioritas nasional, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi inklusif, dan konektivitas infrastruktur,” terang Sri Wahyuni.

Ia menyebutkan, sebanyak Rp 6,85 triliun dialokasikan untuk 10 sasaran pembangunan, dengan fokus utama pada pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, dan layanan kesehatan.

Pemprov Kaltim juga menyiapkan dua program unggulan yakni Gratispol dan Jospol. Program Gratispol mencakup sekolah gratis hingga jenjang S3, layanan kesehatan gratis, internet gratis di desa, seragam sekolah gratis, hingga program umroh bagi petugas rumah ibadah. “Total anggaran untuk program Gratispol mencapai Rp2,67 triliun,” ungkapnya.

Sementara itu, program Jospol diarahkan untuk memperkuat pembangunan daerah melalui berbagai kebijakan strategis. “Program ini mencakup hilirisasi pertanian, insentif bagi guru dan penjaga rumah ibadah, pengembangan UMKM, pariwisata berbasis desa, serta pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan transportasi,” jelas Sri Wahyuni. Total anggaran untuk Jospol mencapai Rp 2,04 triliun.

Menanggapi aspirasi masyarakat, Sri Wahyuni menyebutkan bahwa sebanyak 266 usulan Pokok Pikiran (Pokir) telah diajukan, dengan mayoritas berasal dari sektor pendidikan, kelautan, dan pertanian. “Dari 1.632 usulan bantuan keuangan kabupaten dan kota, sebanyak 345 usulan telah disetujui untuk tahun 2026,” tutupnya. (adv/hms6)

TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.