199 Desa Belum Merdeka Listrik

Rabu, 16 Februari 2022 851
SAMARINDA. Listrik merupakan salah satu kebutuhan dasar publik, kaya akan sumber daya alam sebagai bahan dasar pembangkit tenaga listrik tidak menjadikan Provinsi Kalimantan Timur “merdeka” listrik.
 
Ketua Pansus Ketenagalistrikan DPRD Kaltim Sapto Setyo Pramono menuturkan saat ini yang menjadi fokus pembahasan dan kajian dari pansus mengenai masih adanya 199 desa di Kaltim yang belum mendapatkan penerangan.
 
“Sebagian desa listriknya belum 24 jam. Padahal, batubara sebagai salah satu bahan utama penerangan melimpah di Kaltim akan tetapi banyak daerah khususnya di kawasan yang minim infrasktruktur belum mendapat listrik,” ujar Sapto disela-sela rapat internal Pansus Ketenagalistrikan, belum lama ini.
 
Pada rapat yang dihadiri sejumlah pimpinan dan anggota pansus yakni Saefuddin Zuhri, Bagus Susetyo, Romadhoni Putra Pratama, Safuad, Jahidin, Ali Hamdi, dan Amiruddin itu, Sapto menuturkan dalam waktu dekat pansus akan mengunjungi PT PLN Regional Kaltim-Kaltara guna menggali informasi untuk mengidentifikasi persoalan.
 
“Penting bagi Pansus untuk mendapatkan informasi apa sebenarnya yang menjadi kendala dan penyebab belum maksimalnya penerangan di 199 desa di Kaltim dimaksud. Ini sebagai langkah awal dalam mencari solusi,” imbuhnya.
 
Ia menambahkan pada pertemuan dengan PT PLN nantinya pansus juga mengundang berbagai pihak terkait satu diantaranya Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim.
 
Pihaknya, mengakui bahwa terkait dengan pengelolaan listrik dalam Pasal 5 (1) sesuai UU Cipta Kerja dijelaskan mulai dari penetapan tarif, penetapan wilayah usaha, hingga perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik merupakan kewenangan pemerintah pusat.
 
Wakil Ketua Pansus Ketenagalistrikan Bagus Susetyo menjelaskan perlu menggali solusi jangka menengah dan panjang untuk mengatasi persoalan ketersediaan listrik bagi 199 desa di Kaltim tersebut.
 
Ia mencontohkan, seperti memaksimalkan peran perusahaan melalui tanggungjawab sosial untuk membantu baik untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
 
“Kalau PLN belum bisa masuk karena beberapa alasan maka CSR merupakan salah satu solusi dan nanti bisa bekerjasama dengan perusahaan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota agar bisa mencapai hasil maksimal,” tuturnya. (adv/hms4)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)