Tambah Wawasan, Pansus Kelembagaan Desa Adat Belajar ke Provinsi Banten

Senin, 20 Mei 2024 60
Kunjungan Kerja Pansus Pembentukan Kelembagaan Desa Adat ke Pemerintah Provinsi Baten

BANTEN. Panitia Khusus (Pansus) pembahas Pembentukan Kelembagaan Desa Adat (PKDA) melakukan kunjungan kerja ke Pemerintah Provinsi Banten, Senin (20/5/2024).

 

Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus Pembentukan Kelembagaan Desa Adat Harun Al Rasyid, didampingi sejumlah anggota pansus Saefudin Zuhri, Kaharuddin Jafar, Amiruddin, dan Andi Harahap serta Kepala DPMPTSP Kaltim Puguh.

 

Harun Al Rasyid menjelaskan tujuan dari kunjungan kerja tersebut adalah dalam rangka belajar dan menggali informasi tentang masyarakat adat yang ada di Provinsi Banten guna memperkaya rancangan draf ranperda.

 

Ia mengatakan dipilihnya Provinsi Banten dikarenakan telah sejak dulu memiliki masyarakat adat dengan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan masyarakat adat lainnya di Indonesia. Hal ini yang penting untuk kemudian digali sehingga memperkaya wawasan bagi pansus.

 

Politikus PKS itu menjelaskan berdasarkan informasi dari Pemerintah Provinsi Banten, masyarakat adat total sebanyak 14 kelompok dan yang paling terkenal adalah suku badui. Badui terbagi dua yakni badui dalam dan badui luar. 

 

“Keunikan dari Suku Badui dalam ini dalam kehidupan sehari-hari masih menggunakan cara tradisional yang terikat dalam aturan-aturan hukum adat.  Uniknya lagi mereka menolak sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah seperti listrik, PDAM, dan lainya,”jelasnya.

 

“Apakah pemerintah kemudian membiarkan saja karena adanya sarana dan prasarana publik itu bertujuan memberikan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apakah penerapan hukum adatnya juga dapat bersinergi dengan hukum formal. Ini yang perlu digali,”tambahnya.

 

Ia menambahkan seperti pendidikan misalnya, pemerintah berkewajiban dalam memenuhi pemerataan pendidikan di seluruh daerah karena hal ini berkaitan erat dengan keberlangsungan kehidupan bangsa di masa depan. “Kalau tidak boleh mengakses pendidikan kemudian bagaimana, apakah kemudian ada alternatif lain,”tanya pria yang juga seorang tokoh agama ini.

 

Tak hanya itu, teknologi seperti kendaraan bermotor sudah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari karena mempermudah jarak dan waktu dalam menempuh suatu tempat. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan cara konvensional. 

 

Menurutnya, Budaya dan teknologi bukanlah suatu hal yang bertentangan melainkan sebaliknya satu kesatuan dalam rangka mempermudah mencapai tujuan dari esensi budaya itu sendiri. “Istilahnya ada kearifan lokal ini sedang di kaji untuk kemudian digali dan disesuaikan.Bagaimana agar budaya dapat berkembang dan menjaga regenerasi, jadi kedepan perlu menjaga SDM generasi muda untuk agar budaya tidak punah,”pungkasnya.(hms7)

TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)