Mendesak, Kaltim Bentuk dan Aktifkan Forum Bencana

Kamis, 6 Juni 2024 153
Kunjungan kerja Pansus Sistem Penanggulangan Bencana Karhutla ke BPBD DI Yogyakarta.

YOGYAKARTA. Provinsi Kalimantan Timur sudah saatnya serius membentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) baik di Provinsi maupun di kabupaten - kota secara massif. Jika sudah terbentuk agar diaktifkan secara maksimal. 

 

Demikian dikatakan Ketua Pansus Rancangan Perda Sistem Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan DPRD Provinsi Kaltim Sarkowi V Zahry usai kunjungan Pansus ke DPRD Yogyakarta dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta, 4 - 7 Juni 2024. 

 

"Kalau yang belum ada agar dibentuk, dan yang sudah ada agar diaktifkan. Jangan hanya papan nama dan ada pengurusnya, tapi tidak ada gerakan nyatanya," pinta Sarkowi didampingi Wakil Ketua Pansus Agiel Suwarno, Selamat Ari Wibowo, Eddy Sunardi Darmawan, serta lainnya. 

 

Dijelaskannya, FPRB merupakan wadah untuk meningkatkan kolaborasi multipihak dalam mengurangi risiko bencana. Dengan itu akan bisa menjembatani hubungan pemerintah dan masyarakat terkait aspirasi serta ide ide dalam upaya penanggulangan bencana di daerah masing masing. "Ini salah satu rencana aksi daerah yang meliputi unsur pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi dan media massa yang dikordinasikan BPBD," ungkap anggota Dewan dari Fraksi Golkar ini.

 

Dicontohkannya di Yogyakarta kata sarkowi bahwa forum itu terbentuk dengan baik dan bahkan melibatkan parapihak termasuk dunia usaha serta NGO baik dalam maupun luar negeri. Meski diakuinya membentuk forum tidak terlalu sulit, tapi menjaga eksistensi dan komitmen yang dibarengi usaha yang terus menerus merupakan hal yang tidak mudah. "Tapi kalau tidak dimulai, kapan lagi. Ini tantangannya. Potensi bencana perlu diwaspadai dengan segala upaya termasuk kesiapsiagaan yang maksimal," tandas Sekretaris Komisi III DPRD Kaltim ini.

 

Selain itu, sambung sarkowi di desa kelurahan yang punya potensi bencana juga mendesak dibentuk desa tangguh bencana dan lagi lagi FPRB menjadi sangat penting dibentuk di desa - kelurahan. Dicontohkannya bencana banjir di Kabupaten Mahulu itu seharusnya di desa - desa itu sudah mempunyai desa dengan status desa tangguh bencana dan sudah terbentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana. "Jangan sampai sudah terjadi bencana baru bingung semua," ungkapnya. 

 

Kepala Bidang Logistik dan Peralatan BPBD Provinsi DI Yogyakarta R Ali Sadikin menjelaskan dari Tahun 2012 -2023 sudah 324 desa yang sudah dibentuk, karena disana ada forum pengurangan bencana tingkat desa. Ini terus dibina dengan sosialisasi dalam hal peningkatan kapasitas. 

 

Kemudian pelatihan relawan. Karakteristik yang berbeda antar desa menjadi dasar peningkatan kapasitas sehingga tetap dilatih dan dibina karena merekalah garda terdepan dalam penanggulangan bencana. 

 

Ia menjelaskan dalam upaya penanggulangan bencana DIY membuat dokumen resiko bencana berdasarkan kajian dari para ahli atau hasil kajian yang sudah dikeluarkan instansi terkait. Misalnya, data-data yang dikeluarkan BMKG untuk iklim. Kemudian dokumen resiko bencana diteruskan menjadi dokumen penanggulangan bencana lima tahunan. "Analoginya suatu penyakit harus melalui diagnosa untuk menentukan tindakan medis termasuk pemberian obatnya. Begitu juga bencana harus melalui kajian agar dalam menentukan penanganan bisa tepat sasaran dan optimal,"pungkasnya.(hms4)

TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)