Konsultasi Finalisasi Draft Ranperda, Pansus PKDA Kunjungan ke Bina Pemdes Mendagri

Kamis, 11 Juli 2024 64
DISUKSI : Pansus DPRD Kaltim pembahas Ranperda Tentang Pembentukan Kelembagaan Desa Adata melakukan konsultasi draft renperda ke Bina Pemerintahan Desa, Mendagri, Jakarta, Kamis (11/7/2024)

JAKARTA. Pansus DPRD Kaltim Pembahas Ranperda Tentang Pembentukan Kelembagaan Desa Adata (PKDA) Provinsi Kalimantan Timur kembali melakukan kunjungan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri, Kamis (11/7) lalu.

 

Kunjungan ke Direktorat Jendral (Ditjen) Bina Pemerintahan Desa (Pemdes), Kemendagri, tersebut dalam rangka Konsultasi Finalisasi Draft Ranperda PKDA Kaltim. Demikian disampaikan Anggota Pansus Amiruddin didampingi sejumlah anggota pansus.

 

Kedatangan pansus diterima Analis Kebijakan Ahli Muda Penataan Desa Sub Direktorat Fasilitasi Tata Wilayah Desa Direktorat Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Wirahman Dwi Bahri, didampingi sejumlah pejabat dan pegawai Dirjen Bina Pemdes.

 

Berdasarkan hasil pertemuan, Amiruddin menyampaikan, bahwa perubahan Judul Draft Ranperda yang semula Pembentukan Kelembagaan Desa Adat menjadi Susunan Kelembagaan, Pengisian Jabatan, dan Masa Jabatan Kepala Desa Adat, sudah sesuai dan bisa diterima.

 

“Hanya ada catatan, terkait pengaturan Lembaga Permusyawaratan Desa yang masih tercantum dalam batang tubuh draft ranperda, belum sesuai dengan judul. Sehingga jika pengaturan terkait lembaga permusyawaratan desa itu masih diatur dalam Perda, maka judul disesuaikan,” ujarnya.

 

Karena muatan pasal dalam ranperda merujuk pada Perda Banten, alhasil sudah tidak banyak koreksi. Hanya saja, urutan konsideran yang harus diperhatikan. Pasalnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 lebih dahulu dibanding Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 berkaitan dengan muatan substansinya.

 

“Karena saat ini, kementerian sedang mengawal bagaimana masyarakat hukum adat itu bisa bertransformasi menjadi identitas pemerintahan. Maka tidak terlepas dari Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, barulah dimasukkan dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2017 Tentang Penataan Desa,” terang Amiruddin.

 

Selain itu, terdapat penghapusan sejumlah pasal, mengingat materi ranperda sebelumnya dinilai tumpang tindih dengan materi muatan dalam perda kabupaten dan kota. Sehingga, dari draft awal terdiri dari 13 Bab dan 37 pasal, menjadi 7 Bab dan 12 pasal. Termasuk isi ranperda yang harus mengacu pada kewenangan provinsi dalam penataan desa adat.

 

Anggota pansus yang hadir, yakni Kaharuddin Jafar, Andi Harahap, Sutomo Jabir, Ekty Imanuel, dan Saefuddin Zuhri. Konsultasi ini dalam rangka finalisasi draft ranperda, sebelum dilakukan uji publik yang akan digelar akhir Juli mendatang. (hms6)

TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)