SAMARINDA. Komisi IV DPRD Kaltim menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kaltim, Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Kaltim, Dewan Pendidikan Kaltim, serta perwakilan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA dan SMK Swasta se-Kaltim, Senin (25/8/2025) Agenda utama RDP ini adalah membahas tata kelola Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) dan kondisi honorarium guru swasta tingkat SMA dan SMK di wilayah Kaltim. Dalam forum yang berlangsung dinamis tersebut, berbagai pihak menyampaikan aspirasi dan evaluasi terkait pelaksanaan BOSDA yang dinilai belum sepenuhnya menjawab kebutuhan operasional sekolah swasta. Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, H. Baba, menegaskan bahwa pengelolaan BOSDA harus diarahkan untuk mendukung distribusi Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) secara adil dan merata.
“Kami ingin memastikan bahwa tidak ada sekolah yang tertinggal, baik negeri maupun swasta. Pemerataan dana operasional adalah kunci untuk memperkecil kesenjangan kualitas pendidikan,” ujar H. Baba.
Dalam forum tersebut, perwakilan MKKS menyampaikan keluhan terkait keterbatasan penggunaan BOSP yang dinilai terlalu ketat dan tidak fleksibel dalam menjawab kebutuhan riil di lapangan. Komisi IV menyoroti bahwa pembatasan-pembatasan ini perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kaltim. H. Baba menyarankan agar Pemprov Kaltim lebih fokus pada program-program yang menjadi kewenangannya, termasuk penguatan BOSDA dan insentif guru swasta.
“Kami mendorong agar kebijakan pendidikan tidak hanya berorientasi pada sekolah negeri. Sekolah swasta juga bagian dari ekosistem pendidikan yang harus diperhatikan secara adil,” tegasnya. Senada, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Hartono Basuki, menambahkan bahwa eksistensi sekolah swasta di Kaltim masih sangat relevan dan strategis, terutama dalam menjangkau wilayah yang belum terlayani optimal oleh sekolah negeri.
Ia menyoroti bahwa program pendidikan gratis yakni Gratispol yang digulirkan pemerintah perlu dirumuskan dengan formula yang tepat agar benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Sekolah swasta jangan sampai terpinggirkan. Kita harus pastikan program Gratispol tidak hanya menjadi slogan, tapi benar-benar terdistribusi secara adil,” ujarnya.
Sementara itu, Agus Aras, turut menyoroti aspek kewenangan dan kesiapan fiskal dalam pelaksanaan program Gratispol. Ia menegaskan bahwa program pendidikan gratis seharusnya difokuskan pada jenjang yang menjadi kewenangan Pemprov Kaltim, yakni SMA, SMK, MA dan SLB. “Kita harus realistis. Jangan sampai program yang niatnya baik justru membebani APBD karena tidak mempertimbangkan batas kewenangan dan kapasitas fiskal,” ujarnya.
Agus Aras juga menyoroti program seragam sekolah gratis yang masih menghadapi banyak kendala di lapangan. Keluhan orang tua siswa terkait keterlambatan dan ketidaksesuaian distribusi menjadi perhatian serius. Ia mendorong agar pemerintah melakukan persiapan matang pada tahun 2025, agar pelaksanaan program seragam gratis di tahun 2026 dapat berjalan optimal dan tidak menimbulkan polemik baru. Terkait pembiayaan, Agus mengingatkan bahwa kebijakan pemotongan anggaran oleh Pemerintah Pusat harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang program Gratispol dan Jospol.
“Kita tidak bisa terjebak pada gagasan populis tanpa hitungan. Program pendidikan gratis harus punya roadmap yang jelas dan skema pendanaan jangka panjang agar tidak menggerus sektor lain yang juga vital,” sebutnya. Menanggapi hal tersebut, Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menyampaikan bahwa Pemprov Kaltim berkomitmen memperkecil kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta. “Saat ini kami masih fokus pada peningkatan sekolah negeri, namun ke depan perhatian akan diarahkan lebih kuat ke sekolah swasta, terutama yang berada di kawasan pinggiran dan memiliki keterbatasan daya tampung,” ujarnya.
Dalam semangat kolaborasi, Armin mengusulkan agar sekolah negeri dan swasta menjalin kerja sama dalam pemanfaatan sarana dan prasarana, termasuk fasilitas praktikum. “Sekolah negeri harus membuka ruang bagi sekolah swasta untuk berbagi fasilitas. Ini bukan soal kompetisi, tapi soal gotong royong dalam mencerdaskan anak bangsa,” pungkasnya. (adv/hms6)
“Kami ingin memastikan bahwa tidak ada sekolah yang tertinggal, baik negeri maupun swasta. Pemerataan dana operasional adalah kunci untuk memperkecil kesenjangan kualitas pendidikan,” ujar H. Baba.
Dalam forum tersebut, perwakilan MKKS menyampaikan keluhan terkait keterbatasan penggunaan BOSP yang dinilai terlalu ketat dan tidak fleksibel dalam menjawab kebutuhan riil di lapangan. Komisi IV menyoroti bahwa pembatasan-pembatasan ini perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kaltim. H. Baba menyarankan agar Pemprov Kaltim lebih fokus pada program-program yang menjadi kewenangannya, termasuk penguatan BOSDA dan insentif guru swasta.
“Kami mendorong agar kebijakan pendidikan tidak hanya berorientasi pada sekolah negeri. Sekolah swasta juga bagian dari ekosistem pendidikan yang harus diperhatikan secara adil,” tegasnya. Senada, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Hartono Basuki, menambahkan bahwa eksistensi sekolah swasta di Kaltim masih sangat relevan dan strategis, terutama dalam menjangkau wilayah yang belum terlayani optimal oleh sekolah negeri.
Ia menyoroti bahwa program pendidikan gratis yakni Gratispol yang digulirkan pemerintah perlu dirumuskan dengan formula yang tepat agar benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Sekolah swasta jangan sampai terpinggirkan. Kita harus pastikan program Gratispol tidak hanya menjadi slogan, tapi benar-benar terdistribusi secara adil,” ujarnya.
Sementara itu, Agus Aras, turut menyoroti aspek kewenangan dan kesiapan fiskal dalam pelaksanaan program Gratispol. Ia menegaskan bahwa program pendidikan gratis seharusnya difokuskan pada jenjang yang menjadi kewenangan Pemprov Kaltim, yakni SMA, SMK, MA dan SLB. “Kita harus realistis. Jangan sampai program yang niatnya baik justru membebani APBD karena tidak mempertimbangkan batas kewenangan dan kapasitas fiskal,” ujarnya.
Agus Aras juga menyoroti program seragam sekolah gratis yang masih menghadapi banyak kendala di lapangan. Keluhan orang tua siswa terkait keterlambatan dan ketidaksesuaian distribusi menjadi perhatian serius. Ia mendorong agar pemerintah melakukan persiapan matang pada tahun 2025, agar pelaksanaan program seragam gratis di tahun 2026 dapat berjalan optimal dan tidak menimbulkan polemik baru. Terkait pembiayaan, Agus mengingatkan bahwa kebijakan pemotongan anggaran oleh Pemerintah Pusat harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang program Gratispol dan Jospol.
“Kita tidak bisa terjebak pada gagasan populis tanpa hitungan. Program pendidikan gratis harus punya roadmap yang jelas dan skema pendanaan jangka panjang agar tidak menggerus sektor lain yang juga vital,” sebutnya. Menanggapi hal tersebut, Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menyampaikan bahwa Pemprov Kaltim berkomitmen memperkecil kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta. “Saat ini kami masih fokus pada peningkatan sekolah negeri, namun ke depan perhatian akan diarahkan lebih kuat ke sekolah swasta, terutama yang berada di kawasan pinggiran dan memiliki keterbatasan daya tampung,” ujarnya.
Dalam semangat kolaborasi, Armin mengusulkan agar sekolah negeri dan swasta menjalin kerja sama dalam pemanfaatan sarana dan prasarana, termasuk fasilitas praktikum. “Sekolah negeri harus membuka ruang bagi sekolah swasta untuk berbagi fasilitas. Ini bukan soal kompetisi, tapi soal gotong royong dalam mencerdaskan anak bangsa,” pungkasnya. (adv/hms6)