Martinus Pertanyakan Nasib 228 Tenaga Honorer di Mahulu Yang Diberhentikan

Rabu, 29 Juni 2022 339
Anggota Komisi I DPRD Kaltim Martinus
SAMARINDA. Anggota Komisi I DPRD Kaltim Martinus menyoroti soal pemberhentian sebanyak 228 tenaga honorer yang ada di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu). Ditemui usai mengikuti rapat Paripurna DPRD Kaltim ke 23 di Gedung D lantai 6 Kantor DPRD Kaltim, Martinus mengatakan, dirinya memiliki data nama-nama tenaga honorer yang diberhentikan tersebut. Bahkan dirinya menyebut, juga ikut bergabung dalam forum Pegawai Tenaga Non Pemerintah yang dibentuk oleh tenaga honorer di Mahulu. “Ada 228 orang yang diberhentikan,” terangnya pada awak media, Selasa  (28/6).

Politisi dari partai PDIP ini menceritakan kronologis pemberhentian ratusan tenaga honorer dari lintas profesi ini, yakni dari guru, tenaga kesehatan dan penyuluh. Dikatakannya, usai pelaksanaan Pilkada Bupati di daerah tersebut disampaikan bahwa tidak adanya anggaran untuk tenaga honorer, yang menyebabkan banyaknya tenaga honorer diberhentikan. Selain itu kata dia, alasan adanya tenaga honorer yang telah masuk dalam struktur partai. “Alasannya, kalau mereka tidak ada anggaran, tapi mereka memutuskan secara sepihak 228 orang tadi, anehnya mereka menerima lagi yang baru dengan status yang sama. Ini ada apa? Jelas ada konspirasi,” ujarnya.

Untuk itu, dirinya menegaskan bahwa ingin mengetahui jelas masalah apa yang terjadi kepada Ombudsman. “Sebelumnya kita sudah ke sana dan dijawab Pemkab Mahulu, tapi sampai hari ini belum ada kejelasan dan solusinya,” katanya.

Persoalan itu kata Martinus akan semakin pelik dengan adanya Surat Edaran yang dikeluarkan oleh KemenPAN-RB, terkait penghapusan tenaga honorer hingga tahun 2023 mendatang. “Sebelum itu terjadi, kita mengantisipasi agar 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi sepakat kompak. Kalau bisa tenaga honorer kita pertahankan, karena ada aturan Menteri terkait PPPK,” pungkasnya. (adv/hms7)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)