Komisi III DPRD Kaltim Soroti Ketimpangan Data Produksi Tambang dan Tata Kelola CSR

Jumat, 11 Juli 2025 24
Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar rapat kerja penting bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta sejumlah perusahaan pertambangan di Ballroom Hotel Grand Jatra Balikpapan, Jumat (11/7/2025).
BALIKPAPAN - Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar rapat kerja penting bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta sejumlah perusahaan pertambangan di Ballroom Hotel Grand Jatra Balikpapan, Jumat (11/7/2025). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Abdulloh, dan Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, ini bertujuan memperkuat sinergi antara pemerintah daerah dan sektor pertambangan demi pembangunan berkelanjutan di Bumi Etam.

Abdulloh menjelaskan agenda utama rapat mencakup empat isu strategis: pengaturan kuota produksi batubara, pelaksanaan reklamasi lahan pascatambang, optimalisasi program Corporate Social Responsibility (CSR), serta pengembangan skema Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Seluruh aspek ini dinilai krusial dalam mendorong tata kelola pertambangan yang berkelanjutan dan berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur.

“Kami ingin memperoleh kejelasan terhadap pelaksanaan empat isu strategis: kuota produksi, reklamasi, CSR, dan PPM. Ini bagian dari pengawasan dan penguatan fungsi kemitraan,” ujar Abdulloh.

Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menyampaikan bahwa dari 10 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang beroperasi di Kalimantan Timur, hanya enam perusahaan yang hadir dalam pertemuan ini. Ia berharap agar seluruh PKP2B beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sehingga memberikan ruang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam pengawasan.

Hasanuddin juga secara tegas menyoroti ketidaksesuaian antara data produksi dan penjualan batubara, serta lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang ilegal. Menurutnya, ketidaksinambungan ini berdampak pada minimnya penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, hingga iuran tetap dan Pajak Penghasilan Tambang (PHT).

“RKAB yang saat ini ditetapkan oleh pemerintah pusat seharusnya tetap melibatkan koordinasi dengan pemerintah daerah. Kami juga mendorong penyusunan Perda tentang CSR dan PPM agar regulasi daerah lebih efektif,” tegas Hasanuddin.

Anggota Komisi III DPRD, Subandi, turut menyoroti adanya ketimpangan antara jumlah produksi batubara dengan pendapatan daerah yang diterima. Ia menilai jumlah tongkang batubara yang melintasi Jembatan Mahakam tidak sebanding dengan DBH dan PAD yang masuk ke kas daerah. Subandi menekankan pentingnya inspeksi lapangan untuk meninjau lubang bekas tambang yang belum direklamasi dan meminta kejelasan penggunaan dana jaminan reklamasi.

“Kita memiliki data fasilitas publik yang membutuhkan dukungan. Jika CSR belum menjangkau hal itu, maka harus ada penentuan prioritas yang jelas,” ujarnya. Dalam sesi pemaparan, Perwakilan PT Insani Baraperkasa (IBP), oscar mengungkapkan bahwa sejak beroperasi pada tahun 2009, perusahaan telah bekerja sama dengan sebelas jasa pertambangan dan mengelola lima pelabuhan. Reklamasi lahan bekas tambang (void) telah dilakukan pada 66 persen wilayah, sementara 28 persen masih terbuka, dan 7 persen sesuai dokumen AMDAL. IBP menekankan perlunya kajian lanjutan agar void tidak hanya ditutup, tetapi juga dikembangkan sebagai kawasan produktif. Di sisi tata kelola, IBP melakukan pemantauan karbon, keanekaragaman hayati, dan petak ukur permanen.

"Evaluasi dampak CSR dan PPM diukur melalui pendekatan Sustainable Livelihood, dengan audiensi tahunan bersama masyarakat dan pemerintah kabupaten," ujarnya.

Sementara itu, Perwakilan dari PT Trubaindo Coal Mining, Ignatius melaporkan capaian reklamasi sebesar 14 persen selama periode 2022–2026. Pembagian zona reklamasi dibedakan antara area APL (Areal Penggunaan Lain) dan kawasan hutan, di mana reklamasi harus diwujudkan sebagai penghijauan kembali. PT Tanito Harum menghadapi tantangan lahan eks tambang yang telah diubah menjadi kebun oleh pihak tidak bertanggung jawab, termasuk kendala penguasaan pelabuhan oleh kegiatan ilegal.

Menanggapi berbagai permasalahan ini, Abdulloh menegaskan kembali bahwa realisasi kegiatan tambang, rencana tenaga kerja, hingga pelaksanaan PPM seringkali tidak sepenuhnya sejalan dengan RKAB. Oleh karena itu, RKAB harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah sebelum direalisasikan.

Selain itu, rapat juga menyoroti masalah pengangkutan hasil tambang secara ilegal dan berlebih (overload) yang menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur jalan umum di Kalimantan Timur. Untuk mengatasi hal ini, DPRD meminta agar pengawasan terhadap jalur distribusi hasil tambang diperketat. Perusahaan tambang juga didesak untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam penyusunan RKAB dan pengalokasian program CSR agar tepat sasaran dan sesuai kebutuhan daerah.

Komisi III mengusulkan pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (Perusda) untuk berkolaborasi dengan perusahaan tambang. Selain itu, mereka menyarankan pembentukan satuan tugas (satgas) lingkungan dan CSR guna memastikan realisasi program benar-benar sampai kepada masyarakat serta mendukung infrastruktur daerah, termasuk perbaikan jalan.

Rapat ditutup dengan pernyataan komitmen PT IBP dalam mendukung transisi energi dan penyerahan dokumen konservasi tambang kepada DPRD sebagai bentuk transparansi dan
akuntabilitas. Hadir pula pada rapat tersebut Wakil Ketua Komisi III dan Sekretaris Komisi III, serta sejumlah Anggota Komisi III DPRD Kaltim.

DPRD Kaltim berharap dengan adanya sinergi dan pengawasan yang lebih ketat, tata kelola pertambangan di Kalimantan Timur dapat lebih transparan, akuntabel, dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat serta lingkungan.(hms/ggy)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus RPJMD Tegaskan Komitmen Percepatan Penuntasan Tapal Batas Wilayah Kaltim
Berita Utama 24 Juli 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) pembahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalimantan Timur 2025–2029 terus mengakselerasi langkah strategis demi memastikan kejelasan kewilayahan yang adil dan komprehensif. Salah satu langkah kuncinya adalah melalui agenda konsultatif yang digelar di Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan, Kemendagri, pada Kamis (24/7/2025). Pertemuan yang dipimpin oleh Ketua Pansus RPJMD DPRD Kaltim Syarifatul Syadiah ini turut dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan lintas institusi, antara lain Kasubdit Wilayah II Ditjen Adwil Kemendagri Teguh Subarto, Kepala Biro Pemerintahan Setda Kaltim Siti Sugianti, Asisten I Pemkab Berau Hendratno, Kabid PPM Bappeda Kaltim Misoyo, serta perwakilan dari instansi terkait. Dalam diskusi intensif tersebut, Pemerintah Provinsi Kaltim melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah (POD) memaparkan sejumlah titik krusial yang masih menyisakan ketidakjelasan tapal batas antar kabupaten dan kota, seperti Paser dengan Penajam Paser Utara, Penajam Paser Utara dengan Kutai Barat, Kutai Barat dengan Mahakam Ulu, Kutai Timur dengan Berau, dan Kutai Barat dengan Kutai Kartanegara. Tak hanya batas internal antar kabupaten dan kota, permasalahan batas wilayah antarprovinsi juga menjadi perhatian, khususnya antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen batas seperti Kutai Barat dan Barito, Mahakam Ulu dengan Barito dan Murung Raya, serta Paser dengan Barito belum memperoleh kepastian hukum dari pemerintah pusat. “Jangan sampai masyarakat dirugikan hanya karena batas wilayah belum jelas. Ini berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan APBD dan kejelasan kewenangan pembangunan,” tegas Syarifatul Sya’diah. Langkah koordinatif ini merupakan bagian integral dari upaya memastikan RPJMD 2025–2029 disusun secara realistis dan berkeadilan, dengan mempertimbangkan dinamika dan aspirasi kewilayahan secara menyeluruh.  Selain itu, penyelesaian tapal batas diyakini dapat memperkuat integritas tata kelola pemerintahan, mencegah tumpang tindih pelayanan, serta memperjelas hak dan kewajiban daerah dalam pembangunan lintas sektor. Dengan kolaborasi aktif antara DPRD, Pemprov, dan Kemendagri, diharapkan percepatan penyelesaian batas wilayah ini segera mencapai kepastian hukum dan dapat diterjemahkan dalam perencanaan pembangunan yang lebih responsif dan merata hingga ke pelosok Kalimantan Timur.(hms9/hms6)