Ely Hartati: THR Sudah Ada Aturan Bakunya

Senin, 10 Mei 2021 91
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Ely Hartati Rasyid
SAMARINDA – Setiap jelang perayaan Idul Fitri, pengusaha dan karyawan tak asing dengan istilah tunjangan hari raya (THR). Dimana THR ini juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Buruh/Pekerja.

Wakil Ketua Komisi IV Ely Hartati Rasyid mengatakan, walaupun telah ada aturan jelas, tapi pemberian THR oleh pengusaha pada pekerjanya di mana pandemi COVID-19 masih melanda, adalah sesuatu yang “istimewa”. Hal ini disebabkan, banyaknya pengusaha yang “gulung tikar” akibat terdampak pandemi. “THR itu sudah baku, sudah ada aturan di Disnaker. Tapi dengan kondisi COVID sekarang, tentu ini juga berat,” ujarnya, baru-baru ini.

“Pandemi ini, daya beli jadi turun. Sedangkan daya beli itu rantai konsumen. Produksi pabrik turun, gaji turun, semua turun, produktivitas turun. Berdampak ke sana semua,” lanjutnya.

Legislatif dari Fraksi PDI-P ini menyebut, sejauh ini pihaknya belum mendapatkan laporan pengaduan, baik dari pihak pengusaha maupun pekerja terkait THR. Namun demikian, dikatakan dia, DPRD Kaltim siap menerima laporan dan membantu penyelesaian masalah jika ada pihak-pihak yang ingin melaporkan hal-hal terkait THR. “Kita tunggu saja. Nanti ada beberapa yang tidak mampu membayar THR. Kalau sekarang belum ada. Intinya kita tunggu dulu lah. Kami juga belum ada komunikasi dengan Disnaker, apakah sudah ada perusahaan yang mengajukan ke Disnaker, terkait tidak ada yang bisa bayar THR. Karena memang situasinya sulit begini,” katanya.

Sementara itu, disebutkan Ely Hartati Rasyid, selama ini Anggota DPRD Kaltim tidak terbiasa dengan THR, sehingga dipastikan tidak ada yang memberatkan. “Kalau kami kan tidak terbiasa mendapat THR ya. Aturan itu mungkin untuk untuk PNS saja dan pengusaha ya,” pungkasnya. (adv/hms7)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)