Rapat Paripurna ke-29 Sahkan Renja DPRD Kaltim

Senin, 29 November 2021 80
Penyampaian Laporan Akhir Renja DPRD Kaltim Tahun 2021 dibacakan dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Kaltim ke-29, Kamis (25/11).
SAMARINDA. Disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Kaltim ke-29, Kamis (25/11) lalu Rencana Kerja DPRD Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2022 yang sebelumnya disampaikan laporannya oleh Sarkowy V Zahry. Rencana Kerja tersebut telah melalui proses panjang pembahasan bersama sejumlah mitra kerja DPRD Kaltim.

“Alhamdulillah setelah proses pembahasan dan telah dilaporkan oleh rekan kita Sarkowi V Zahry, disepakati dalam Rapat Paripurna. Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah bersama-sama melalui proses pembahasan dan telah disahkan,” ungkap Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK, usai memimpin rapat Paripurna ke-29 DPRD Kaltim.

Dalam Rapat yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim Muhammad Sa’bani, mewakili Gubernur Kalimantan Timur M Sa’bani juga berkesempatan menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah APBD Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2022.

Untuk diketahui Nota Keuangan yang disampaikan tersebut berdasarkan peraturan, untuk kemudian akan ditanggapi oleh seluruh Fraksi-Fraksi DPRD Kaltim yang sesuai jadwal dilaksanakan melalui Rapat Paripurna ke-30 DPPRD Kaltim. Lalu kembali ditanggapi atau dijawab oleh Gubernur Kalimantan Timur melalui Rapat Paripurna berikutnya. (adv/hms5)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.