Komisi III DPRD Kaltim Tegaskan Komitmen Dukung Program Zero ODOL 2026

Senin, 7 Juli 2025 93
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Akhmed Reza Fachlevi
SAMARINDA – Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalimantan Timur, Akhmed Reza Fachlevi, menegaskan dukungannya terhadap implementasi program Zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang dicanangkan pemerintah pusat pada 2026 mendatang. Hal ini disampaikan saat dirinya hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik bertajuk Komitmen Kaltim Wujudkan Zero ODOL 2026, yang digelar di Studio 2 TVRI Kaltim, Samarinda, Senin (7/7/2025). Diskusi yang disiarkan oleh PUBLIKA TVRI Kaltim ini turut menghadirkan Akademisi Universitas Mulawarman, Muhammad Jazir Alkas, dan Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan Kaltim, Heru Santosa. Acara dipandu oleh Dwi Rahma selaku pewawancara.

Dalam paparannya, Reza menyatakan bahwa Komisi III DPRD Kaltim memberikan dukungan penuh terhadap program Zero ODOL, dan mendorong agar Kalimantan Timur dapat menjadi contoh penerapan program ini di daerah lain. Meski demikian, ia menekankan bahwa implementasi program tersebut harus dibarengi dengan kesiapan regulasi serta ketersediaan sarana dan prasarana.

“Kami masih melihat penindakan dan pengawasan dari pihak Dishub yang belum maksimal. Di beberapa wilayah, penempatan alat timbang masih belum sesuai, dan hingga kini turunan dari Perda maupun Pergub terkait ODOL masih belum terlihat. Yang ada baru aturan umum lalu lintas, belum menyentuh sanksi tegas untuk pelanggaran ODOL,” ujar Reza.

Sementara itu, Muhammad Jazir Alkas menyoroti pentingnya keberadaan alat ukur berat kendaraan seperti Portable Weight In Motion (WIM) di tiap kabupaten dan kota. Menurutnya, setidaknya diperlukan tiga WIM di setiap wilayah untuk mencegah kendaraan ODOL masuk ke wilayah perkotaan.

“Minimal diletakkan di jalan arteri milik kabupaten/kota, agar kendaraan ODOL tidak memasuki area pusat kota. Tapi masalahnya, kita belum punya infrastruktur jalan yang mendukung perpindahan muatan berat ke moda transportasi yang lebih ringan. Ini penting agar distribusi barang tetap aman tanpa merusak jalan,” jelas Jazir.

Dari sisi teknis, Heru Santosa menjelaskan bahwa pembangunan konstruksi jalan menjadi tanggung jawab Dinas PUPR, sementara perlengkapan jalan seperti rambu dan alat timbang berada di bawah wewenang Dinas Perhubungan. Ia juga mengajak DPRD Kaltim untuk terus memberikan dukungan anggaran guna melengkapi fasilitas jalan provinsi sepanjang 938 kilometer.

“Kami berharap dukungan dari Komisi III untuk pengajuan anggaran perlengkapan jalan. Beberapa tahun terakhir dukungan sudah cukup baik, namun masih banyak pekerjaan rumah untuk menjadikan jalan kita benar-benar berkeselamatan,” tutur Heru.

Mengakhiri diskusi, Akhmed Reza Fachlevi menekankan pentingnya sinergi antar pemangku kepentingan dalam menyukseskan program Zero ODOL di Kaltim.

“Diperlukan sinergi antara pemerintah, DPRD, akademisi, asosiasi transportasi, dan masyarakat. Kebijakan yang diambil juga harus adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Kami dari Komisi III akan terus memberikan dukungan, termasuk dalam penyediaan fasilitas dan anggaran bagi Dishub, agar ke depan tidak terjadi lagi persoalan-persoalan ODOL di Kalimantan Timur,” pungkasnya. (hms)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.