Komisi III DPRD Kaltim Soroti Persoalan Tambang yang Kian Kompleks, Butuh Solusi Konkret dan Sinergi Antar Lembaga untuk Tata Kelola Tambang Berkeadilan

Rabu, 25 Juni 2025 82
Komisi III DPRD Kaltim bersinergi dengan Komisi XII DPR RI bahas solusi untuk tambang berkeadilan. Langkah konkret dimulai dari ruang dialog, membahas tambang ilegal, konflik lahan, dan penegakan regulasi bersama
JAKARTA— Dalam rangka membahas penguatan regulasi dan penataan ulang sektor pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim), Komisi III DPRD Kaltim melakukan audiensi intensif dengan Komisi XII DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (25/6/2025). Pertemuan ini menjadi momentum strategis dalam menyuarakan keprihatinan dan masukan dari daerah terhadap berbagai permasalahan sektor energi dan sumber daya mineral yang masih marak terjadi di Kaltim.

Rombongan Komisi III DPRD Kaltim dipimpin oleh Wakil Ketua Akhmed Reza Fachlevi, didampingi Sekretaris Komisi Abdulrahman KA, serta anggota lainnya yakn Sayid Muziburachman, Baharuddin Muin, Abdul Rahman Agus, Husin Djufrie, Syarifatur Syadiah, Abdul Rahman Bolong, dan Jahidin. Mereka diterima oleh Anggota Komisi XII DPR RI, Syafruddin, Sigit, dan Rico. Dalam penyampaiannya, Wakil Ketua Komisi III DPRD Katim Akhmed Reza Fachlevi menegaskan bahwa pihaknya selama tahun 2025 menghadapi ledakan permasalahan tambang. Salah satunya adalah masifnya aktivitas penambangan tanpa izin yang hingga kini belum tertangani secara tegas.

“Aktivitas ilegal ini bukan hanya merugikan negara secara fiskal, tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat dan melemahkan wibawa hukum,” ujarnya.

Selain itu, penggunaan jalan umum oleh perusahaan tambang untuk hauling dan crossing dinilai telah merusak infrastruktur publik serta membahayakan keselamatan warga. Tak hanya itu, banyak area tambang berada di sekitar pemukiman dan fasilitas umum, menciptakan potensi risiko jangka panjang bagi masyarakat.

“Belum lama ini kami menyaksikan dua kejadian longsor di Kutai Kartanegara, yakni di Desa Batuah dan Kelurahan Pendingin, sebagai dampak langsung dari lemahnya penataan dan pengawasan tambang,” ungkap pria yang akrab disapa Reza ini. Ia menyebut kejadian tersebut sebagai cerminan dari kegagalan sistemik dalam pelaksanaan tata ruang dan lingkungan.

Ia juga menyinggung lemahnya implementasi Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang menjadi kewajiban perusahaan berdasarkan Permen ESDM. Banyak perusahaan dinilai belum melaksanakan program secara transparan, inklusif, dan berkelanjutan.

“Bukan hanya masalah teknis, ini soal keadilan sosial. Masyarakat terdampak tambang harus mendapat manfaat nyata, bukan hanya janji-janji pemberdayaan,” tegas Reza. Komisi III kata dia mengharapkan, bahwa masukan ini dapat ditindaklanjuti oleh Komisi XII melalui Panja Minerba dan Panja Lingkungan. Dengan begitu, DPR RI dapat menyampaikan hasilnya kepada kementerian teknis dan aparat penegak hukum, terutama dalam mempercepat langkah-langkah pemberantasan tambang ilegal.

Anggota Komisi XII DPR RI Dapil Kaltim, Syafruddin, menyambut baik pemaparan tersebut. Ia berjanji akan mendorong pembahasan secara spesifik dalam panitia kerja.

“Negara mengalami kerugian besar akibat tambang ilegal, karena tidak ada PNBP yang masuk. Ini tak bisa dibiarkan. Kita akan dorong penanganannya di panja,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa regulasi tata ruang dan pengawasan harus diperkuat. “Kegiatan tambang ilegal ini bukan hanya menyalahi aturan, tapi juga mencoreng wajah negara. Komisi III DPRD Kaltim harus tetap mengawal temuan lapangan dan berkoordinasi intensif dengan kami,” imbuhnya.

Audiensi ini ditutup dengan kesepahaman bahwa penataan sektor tambang bukan sekadar urusan teknis dan administratif, tapi menyangkut keberlangsungan lingkungan, keamanan masyarakat, dan keadilan ekonomi. DPRD Kaltim berharap aspirasi yang disampaikan dapat menjadi bahan baku penyusunan regulasi baru, maupun revisi kebijakan lama yang belum menjawab tantangan lapangan. (adv/hms12)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)