Bertandang ke Dinas Pariwisata Bali, Pansus PKDA DPRD Kaltim Lakukan Studi Komperatif Mekanisme Penataan Kelembagaan Desa Adat

Rabu, 5 Juni 2024 96
Tim Pansus PKAD DPRD Kaltim Berkunjung ke Dinas Pariwisata Provinsi Bali Lakukan Studi Komperatif, Rabu (5/6/24).

DENPASAR –  Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Kalimantan Timur tentang Pembentukan Kelembagaan Desa Adat  (PKDA) melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke Dinas Pariwisata Provinsi Bali, pada Rabu (5/6/24).
 

Kunjungan kerja yang terdiri dari rombongan Tim Pansus Pembahas Ranperda Inisiatif DPRD Kaltim tentang PKAD diantaranya Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji, Anggota Pansus PKAD Baharuddin Demmu, Romadhony Putra Pratama dan Tim Ahli DPRD Kaltim serta Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Prov. Kaltim Puguh Harjanto ini diterima langsung oleh Kepala Dispar Prov. Bali Tjok Bagus Pemayun serta Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Desa Adat Prov. Bali Kartika Jaya Seputra di ruang Media Centre Kantor Dispar Prov. Bali.

 

Bertandangnya Pansus PKAD DPRD Kaltim ke Dispar Prov. Bali ialah dalam rangka Studi Komperatif mekanisme penataan Kelembagaan Desa Adat ditinjau dari lokal wisdom dan pengembangan desa adat berorientasi wisata. Guna penyempurnaan isi Ranperda.

 

“Terima kasih sudah diterima kunjungan kerja kami dari Kalimantan Timur. Kunjungan kerja ini sangat penting bagi kami, karena saat ini kami sedang menggodok Perda terutama Perda Desa Adat,” ucap Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji.

 

Seno kemudian menyampaikan kaitannya dengan jumlah Masyarakat Hukum Adat yang terdapat di Kaltim. Diungkapkannya bahwa dari 110 Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kaltim, hanya 6 diantaranya yang baru diakui oleh Pemerintah.

 

Inilah yang menjadi dasar adanya usulan tentang pembentukan kelembagaan Desa Adat di Benua Etam. Usulan tersebut lahir dari aspirasi Masyarakat Hukum Adat ke DPRD Kaltim. 

 

“Untuk membuka ruang tersebut, kami membentuk Pansus pembahas Ranperda Inisiatif DPRD Kaltim bertugas merumuskan draft Ranperda serta menerima masukan dan saran dari semua kalangan. Termasuk tujuan kita kunjungan kerja ke Dinas Pariwisata Bali hari ini sebagai langkah untuk pengkayaan materi Ranperda,” ungkapnya.

 

Menanggapi hal tersebut, Kadispar Prov. Bali Tjok Bagus Pemayun menjelaskan Lokal Wisdom atau kearifan lokal di bali memang memiliki arti yang penting karena adat di Bali menyatu dengan Agama Hindu bali. Sehingga berjalan beriringan dan diakui oleh masyarakat lokal /desa.

 

Dapat dipastikan ucapnya bahwa local wisdom diimplementasikan secara efektif di Desa Adat di Bali. “Kita percaya bahwa setiap desa adat di Bali memiliki awig atau perarem yang mesti ditaati secara turun-temurun dan mentradisi di Bali. Disamping itu juga pemerintah daerah melakukan penguatan kelembagaan desa adat melalui Perda 4 th 2019 ttg Desa Adat di Bali, dan beberapa Pergub yang menyentuh kegiatan adat di Bali” terangnya.

 

Selain itu dalam pengembangan desa wisata di Bali, Dispar memberikan keleluasan kepada desa adat untuk mengelola desa wisata bersama desa dinas sesuai aturan yang berlaku dengan jalan memberikan ruang bagi Pokdarwis dan Pengelola Desa Wisata setempat untuk mengelola desa mereka sesuai aturan pada Perda 5 Tahun 2020.

 

Dalam hal ini, masyarakat desa adat juga memiliki akses yang setara terhadap peluang pengembangan kapasitas dalam pengelolaan wisata. Sebab desa adat di Bali sudah diakui kelembagaannya oleh pemerintah, sehingga memiliki peluang yang sama dalam mengelola desa wisata yang ada. Setiap desa di Bali pun memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri yang masing-masing dapat disuguhkan daya tarik wisatanya bagi wisatawan. 

 

“Masyarakat adat di Bali sebagian besar sudah sangat menyadari (Sadar Wisata) bahwa daerah mereka di seluruh Bali merupakan destinasi pariwisata dunia, disamping pekerjaan utama penduduk masyarakat desa yang didominasi oleh pekerja pariwisata. Sehingga hampir dapat dipastikan masyarakat desa di Bali cukup mampu untuk mengelola perkembangan desa mereka menjadi desa wisata yang berkualitas dan berkelanjutan,” pungkas Tjok.

 

Lebih lanjut, selaras dengan itu Anggota Pansus PKAD DPRD Kaltim Baharuddin Demmu turut memberikan respon.  “Jadi kami di Provinsi ini menyiapkan kelembagaan, misalnya rakyat tidak ikut ya tidak apa-apa juga. Tapi provinsi harus mentaaati Undang-Undang itu. Artinya kita memang hanya menyiapkan wadah, persoalan nanti apakah masyarakat kita mau ikut terhadap Perda (Desa Adat) ini atau tidak itu kembali pada masyarakat. Terlebih di Kaltim itu heterogeny, banyak sekali suku-sukunya. Kata kuncinya kami sudah dapat setelah diskusi panjang, bahwa mandatori yang ada tidak mesti 100% selalu ditaati atau diikuti,” tutup Demmu.

 

Pertemuan kemudian diakhiri dengan penyerahan plakat dan cinderamata kain batik khas Kaltim oleh Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji kepada Kadispar Prov. Bali dan Kadis PMDA Prov. Bali. (hms11) 

TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)