DPRD Kaltim Tutup Forum Mediasi, Proses Hukum terhadap RSHD Siap Dilanjutkan

Rabu, 24 September 2025 77
Komisi IV DPRD Kaltim, saat rapat terkait perselisihan hubungan industrial antara eks karyawan dan manajemen Rumah Sakit Haji Darjad, Samarinda, Rabu (24/9/2025).

SAMARINDA — Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur menegaskan tidak akan lagi membuka forum mediasi terkait perselisihan hubungan industrial antara eks karyawan dan manajemen Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda.

Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar bersama sejumlah pihak terkait, yakni Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim, Advokat dan Konsultan Hukum ex karywan, serta perwakilan eks karyawan RSHD, Rabu (24/9/2025).

Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menyampaikan bahwa forum mediasi dinyatakan ditutup setelah pihak manajemen RSHD tidak menunjukkan itikad baik dalam penyelesaian masalah, bahkan tidak menghadiri empat kali undangan resmi dari DPRD.

“Kami sudah menyimpulkan bahwa forum ini tidak akan dibuka kembali. Pihak manajemen RSHD telah melecehkan lembaga DPRD dengan tidak menghadiri empat kali undangan RDP. Padahal Disnakertrans selalu hadir dan DPRD tetap memberikan perhatian penuh terhadap persoalan ini,” kata Darlis, sapaan akarabnya.

Dalam RDP tersebut, Disnakertrans Kaltim menyampaikan bahwa telah diterbitkan Nota Pemeriksaan II sebagai konsekuensi atas pengabaian kewajiban oleh pihak manajemen RSHD. Nota tersebut berlaku selama tujuh hari, terhitung sejak hari ini dan akan berakhir pada 2 Oktober 2025.

“Kami memilih untuk menunggu hingga tenggat waktu berakhir. Jika tidak ada penyelesaian dari pihak RSHD, maka proses hukum akan dilanjutkan dan DPRD akan mengawal sepenuhnya bersama Disnakertrans,” terang Darlis.

Dirinya menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi para eks karyawan RSHD yang hingga kini belum menerima hak-haknya. Dalam forum RDP, perwakilan karyawan menyampaikan langsung dampak sosial dan ekonomi yang mereka alami akibat belum terpenuhinya kewajiban perusahaan.

“Mereka bukan lagi calon korban, mereka sudah menjadi korban. Ketika pengusaha bermain-main dengan aturan, karyawanlah yang selalu dirugikan. Pemerintah tidak punya pilihan lain selain menempuh jalur hukum,” jelas Politisi PAN ini.

Darlis memastikan, DPRD Kaltim akan terus mengawal proses hukum agar berjalan transparan, akuntabel, dan berpihak pada keadilan. Ia menegaskan bahwa keputusan hukum nantinya harus benar-benar berpihak kepada keadilan bagi para karyawan.

“Kami pastikan bahwa Komisi IV akan mengawal proses hukum ini. Keputusan hukum nantinya harus benar-benar adil dan berpihak pada karyawan. RSHD wajib melunasi seluruh tunggakan setelah ada keputusan hukum yang bersifat tetap,” tutup Darlis.

Total kewajiban RSHD terhadap eks karyawannya tercatat mencapai Rp 1,3 miliar per Oktober 2025, dan nilai tersebut dipastikan akan bertambah seiring waktu jika tidak segera diselesaikan. (adv/akb)

TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.