Gali Referensi Penerepan Regulasi Ketahan Keluarga

Senin, 24 Mei 2021 118
SHARING : Anggota Pansus pembahas Rancanagan Peraturan Derah (Raperda) Tentang Penyelenggaraan Ketahanan Keluarga (PKK) DPRD Kaltim, Fitri Maisyaroh saat melakukan diskusi dengan DP3AP2KB Provinsi NTB belum lama ini.
MATARAM. Panitia Khusus (Pansus) pembahas Rancanagan Peraturan Derah (Raperda) Tentang Penyelenggaraan Ketahanan Keluarga (PKK) DPRD Kaltim terus mencari referensi hingga ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) belum lama ini demi kesempuranaan raperda.

Dalam kunjungannya ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, Anggota Pansus PKK DPRD Kaltim Fitri Maisyaroh mengaku banyak mendapatkan informasi terkait implementasi penerapan regulasi yang mengatur tentang ketahanan keluarga.

“Maksud dari tujuan kami datang, adalah untuk mendalami program dan materi Perda Nomor 04 tahun 2018 tentang Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga yang telah dibuat dan diimplementasikan oleh Provinsi NTB,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin menjelaskan, urgensi terbitnya Perda nomor 4 tahun 2018 tersebut karena keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Sedangkan keluarga adalah tempat untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dialami anggotanya.

“Untuk alasan itu, ketahanan keluarga sangat menentukan kemampuan menghadapi pengaruh dari luar. Dalam pembangunan keluarga, perlu meningkatkan ketahanan keluarga menuju keluarga sejahtera,” sebut perempuan yang akrab disapa Bunda Eny ini.

Lebih lanjut dijelaskan dia, implementasi Perda nomor 4 tahun 2018 di NTB dengan menetapkan Desa Model, sejak tahun 2019 sebanyak 4 Desa. Kemudian di replikasi tahun 2020 dengan 2 Desa.

“Diharapkan, tahun ini bisa kembali di replikasi di 3 desa. Kriteria Desa model mengacu pada Keputusan Gubernur NTB nomor 400 – 234 tahun 2019 tentang 100 desa prioritas penanggulangan kemisikinan,” terangnya.

Dikatakan Fitri, sapaan akrabnya, sejak Pansus Pembahas Raperda PKK dibentuk, sebelum ke Provinsi NTB, pihaknya telah melakukan kunjungan ke Provinsi Jawa Barat (Jabar) untuk menggali informasi penerapan Perda Tentang Ketahanan Keluarga.

“Kalau sekedar draft perda, tinggal download saja bisa. Tapi yang kami butuhkan supaya nanti, jika raperda ini telah resmi menjadi perda, ada manfaat yang bisa dirasakan masyarakat. Jadi sebenarnya mau sharing, seperti apa implementasinya,” bebernya.

Yang menarik lanjut dia, program dari implementasi Penyelenggaraan Ketahan Keluarga di NTB cukup baik. Seperti yang disampaikan Kepala DP3AP2KB Provinsi NTB bahwa program unggulannya ialah revitalisasi posyandu.

“Karena kepala daerah NTB tidak mau, posyandu hanya sekedar mengurus tentang anak saja. Tapi lebih kepada begaimana mengkampanyekan ketahanan keluarga. Itulah saat ini posyandu disebut sebagai posyandu keluarga, yang targetnya ialah ketahanan keluarga,” terang Fitri.

Masih banyak lagi yang bisa diadopsi dan dipelajari Kaltim dalam penerapan Peraturan Penyelenggaraan Ketahanan Keluarga yang telah lebih dulu terbentuk di NTB. “Mulai dari begaimana menjalankan program-program ketahan keluarga ditengah minim anggaran, hingga suksesnya memberikan edukasi bagaimana peran keluarga dalam memperkuat ketahanan keluarga,” jelasnya. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.