Evaluasi Realisasi Keuangan Dishut Kaltim 2021

Selasa, 28 Juni 2022 108
Komisi III DPRD Kaltim bersama Dishut Kaltim menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dengan evaluasi realisasi keuangan 2021 dan beberap hal, Selasa (28/6).
SAMARINDA. Komisi III DPRD Kaltim melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas Kehutanan Kaltim (Dishut) Kaltim, Selasa (28/6). Rapat tersebut membahas Evaluasi Program Kerja Dinas Kehutanan dan Realisasi Keuangan Tahun 2021.

Rapat tersebut dipimpin langsung Ketua Komisi III DPRD Kaltim Veridiana H Wang dan dihadiri Anggota Komisi III DPRD Kaltim lainnya.

Sementara Dishut Kaltim dihadiri langsung Plt. Dishut Kaltim Joko Istanto serta sejumlah pejabat Dishut Kaltim.

Veridiana menyampaikan, bahwa salah satu penyumbang terhadap rendahnya daya serap belanja APBD Kaltim tahun 2021 itu, salah satunya OPD dari sektor kehutanan. Dimana sektor kehutanan ini ada anggaran yang namanya dana reboisasi, yang peruntukannya itu sudah given, atau sudah ada petunjuk teknis penggunaannya.

“Misalnya, anggaran untuk penanganan kebakaran hutan, sudah ditetapkan 50 persen dari jumlah anggaran yang ada di Dishut. Karena kondisi Kaltim tidak ada terjadi kebakaran hutan, maka anggaran itu otomatis tidak terpakai,” bebernya.

Karena itu kata Veridiana, Dishut Kaltim menjadi salah satu dinas yang serapan belanjanya rendah. Dari APBD 2021, anggaran untuk Dishut Kaltim mencapai 500 miliar lebih, tapi yang terserap hanya sekitar 53 persen.

“Sehingga kita berkesimpulan, kita harus mengambil bagian juga dengan kesulitan yang dialami oleh Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Pertama, kita nanti akan membantu menyampaikan persoalan ini ke pusat,” sebut dia.

Adapun yang mengatur pola belanja terhadap dana reboisasi itu ditangai oleh tiga kementrian, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri.

“Karena ketiga kementerian ini yang mengatur, maka kita akan bawa persoalan ini kepada tiga kementerian tersebut,” ujar Wakil Rakyat asal Kutai Barat ini.

Pihaknya juga menyoroti masalah terkait perhutanan sosial, dimana masyarakat Kaltim ada sebagian yang paham dengan perhutanan sosial. “Tapi mereka tidak punya akses untuk mendapatkan informasi terhadap perhutanan sosial itu,” terang Veridiana.

Ada juga sebagian masyarakat, yang secara existing atau keberadaannya itu sudah ada di kawasan perhutanan sosial. “Karena mereka tidak dilibatkan, akhirnya mereka terancam untuk dikeluarkan dari daerah perhutanan sosial itu. Jadi kita juga lagi menyampaikan aspirasi dari masyarakat supaya mereka itu di rangkul,” harap Politisi PDI Perjuangan ini.

Guna memaksimalkan perhutanan sosial ini, DPRD Kaltim mendorong Dishut Kaltim terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dengan memanfaatkan penyuluh dan juga Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).

“Jangan sampai nanti masyarakat tidak tahu apa sih KPHP atau apa itu penyuluh. Nah, merekalah yang mesti proaktif, karena masyarakat yang pencahariannya di wilayah hutan, minim informasi atau wawasan terbatas,” jelas Veridiana. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Pansus PPPLH Konsultasi ke Kemendagri , Dorong Sanksi Tegas dan Penguatan Kewenangan Daerah
Berita Utama 20 Agustus 2025
0
JAKARTA — Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalimantan Timur yang tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPPLH) melakukan konsultasi awal ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Rabu (20/8/2025). Konsultasi ini digelar sebagai bagian dari tahapan penyusunan regulasi daerah yang diharapkan menjadi landasan hukum perlindungan lingkungan hidup di Kaltim secara berkelanjutan dan berkeadilan. Rombongan dipimpin Wakil Ketua Pansus, Baharuddin Demmu, bersama anggota DPRD Kaltim Fadly Imawan, Apansyah, Abdurahman KA, dan Husin Djufrie. Turut hadir Plt. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) DLH Provinsi Kaltim, M. Ahmidin. Mereka diterima oleh Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Baren Rudy S Tambunan, beserta jajaran. Dalam pertemuan tersebut, Pansus menyampaikan sejumlah isu strategis yang menjadi perhatian daerah, seperti maraknya lahan bekas tambang yang terbengkalai, kebakaran hutan, konflik lahan, serta ancaman terhadap satwa endemik seperti pesut Mahakam. Minimnya kewenangan daerah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi sorotan utama. “Kami tidak ingin Ranperda ini hanya menjadi dokumen normatif. Harus ada penguatan substansi, terutama dalam hal sanksi dan kewenangan daerah untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan,” tegas Baharuddin Demmu. Ia menambahkan bahwa selama ini banyak kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak ditindak secara optimal karena keterbatasan regulasi dan tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. “Kami ingin perda ini menjadi instrumen yang memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak cepat dan tepat,” ujarnya. Anggota Pansus, Fadly Imawan, juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap reklamasi pascatambang yang selama ini dinilai lemah. “Kami melihat banyak lubang tambang yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Ini bukan hanya soal estetika, tapi menyangkut keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem,” katanya. Sementara itu, Apansyah menekankan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Menurutnya, Ranperda PPPLH harus membuka ruang bagi komunitas lokal untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci. Mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan,” ujarnya. Menanggapi masukan tersebut, Baren Rudy S Tambunan menjelaskan bahwa Ranperda PPPLH berpotensi mencabut dua perda lama sekaligus. Ia juga menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk mengatur sanksi administratif dan pidana, selama tetap merujuk pada peraturan yang lebih tinggi. “Sanksi pidana harus merujuk pada UU PPLH. Jika sudah ada ketentuan pidana di undang-undang, maka perda cukup merujuk. Perlu diperhatikan bahwa objek sanksi bukan pemerintah daerah, melainkan masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan pelanggaran,” jelas Baren. Ia menilai secara substansi, Ranperda PPPLH sudah sejalan dengan kebijakan nasional. Namun, ia menyarankan agar setelah penyusunan selesai, dilakukan pengkajian ulang melalui konsultasi lanjutan dengan Kemendagri dan kementerian teknis terkait. Konsultasi ini menjadi langkah penting bagi DPRD Kaltim dalam memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan ekologis di daerah.(hms)