APBD Kaltim 2022 Disetujui Rp 11,5 T

Rabu, 1 Desember 2021 1182
Rapat Paripurna ke-32 DPRD Provinsi Kalimantan Timur Penyampaian Laporan Akhir Banggar DPRD Kaltim Pembahas Ranperda APBD 2022 dan Penandatangan Persetujuan Bersama Antara Gubernur Kaltim dan DPRD Kaltim, Selasa (30/11)
SAMARINDA. Melalui Rapat Paripurna ke-32 DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Selasa (30/11) Gubernur Kalimantan Timur dan DPRD Provinsi Kalimantan Timur mendatangani persetujuan bersama terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2022.

Persetujuan tersebut dilakukan setelah Badan Anggaran DPRD Kaltim menyampaikan laporan akhirnya  memandang bahwa Ranperda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022 yang merupakan tindak lanjut dari Kesepakatan atas Kebijakan Umum APBD dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara Tahun Anggaran 2022 yang telah dilakukan. Dinyatakan layak dan patut untuk disetujui bersama sebesar Rp 11,5 triliun.

Disampaikan dalam laporan Banggar oleh Sekretaris DPRD Kaltim Muhammad Ramadhan, yaitu  rincian pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 6,58 triliun, Pendapatan Transfer sebesar Rp 4,26 triliun dan lain-lain pendapatan daerah yang sah senilai Rp 12, 598 miliar.

“Saya atas nama DPRD Provinsi Kalimantan Timur memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada rekan wakil ketua dan seluruh Anggota Badan Anggaran yang telah bekerja keras, penuh dedikasi dan loyalitas demi kemajuan daerah dalam pembahasan bersama-sama Tim TAPD Provinsi Kaltim hingga penandatangan kesepakatannya dapat dilaksanakan pada rapat paripurna hari ini,” kata Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK memimpin rapat.

Untuk diketahui Penandatangan yang lakukan oleh Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK, Wakil Ketua DPRD Kaltim Muhammad Samsun, Seno Aji, dan Sigit Wibowo, sementara Gubernur Kaltim diwakili oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim Muhammad Sa’bani.

Sementara itu menanggapi belanja daerah yang menurun Makmur meyakini tidak mengurangi makna pembangunan yang ada, yang menjadi program prioritas akan diutamakan.  Sementara soal silpa yang terjadi memang perlu menjadi pembahasan bersama untuk duduk bersama, DPRD Kaltim tidak menantang Peraturan Gubernur Nomor 49 tahun 2021. “Namun harapan kita jika sudah menyangkut peraturan apapun bentuknya kalau sudah menyangkut masyarakat maka hukum itu rumusnya adalah keadilan. Maka perlu duduk bersama untuk diperbaiki,” pungkas Makmur. (adv/hms5/hms8)
TULIS KOMENTAR ANDA
Lambannya Sertifikasi Aset Picu Kekhawatiran Konflik Agraria di Kaltim
Berita Utama 8 Agustus 2025
0
SAMARINDA. Keterlambatan proses sertifikasi aset milik pemerintah daerah maupun lahan masyarakat di Kalimantan Timur menimbulkan keresahan baru di tengah upaya membangun kepastian hukum dan tata kelola agraria yang adil. DPRD Kalimantan Timur memperingatkan kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu jika tidak segera ditangani secara serius. Salehuddin, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, menyoroti persoalan ini sebagai hal yang krusial karena menyangkut hak masyarakat atas tanah serta keamanan hukum atas aset pemerintah. Ia menilai, lambannya proses legalisasi aset dapat memicu konflik pertanahan dan sengketa hukum yang berkepanjangan. “Keterlambatan sertifikasi bukan hanya memperlemah kepastian hukum atas kepemilikan aset daerah, tetapi juga membuka ruang terjadinya persoalan pertanahan yang bisa berdampak langsung terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini mempertegas urgensi bagi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta instansi terkait agar segera mempercepat proses sertifikasi aset yang belum tersentuh administrasi hukum. Tak hanya aset pemerintah, masyarakat pun kerap terjebak pada birokrasi berbelit ketika mengurus sertifikat tanah. Menurutnya, warga seringkali terhambat prosedur yang rumit, biaya tinggi, hingga maraknya pungutan liar. “Pemerintah semestinya hadir secara aktif dalam memberikan pendampingan dan kemudahan layanan. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi lahan harus dilakukan secara masif dan konsisten,” tegasnya. Ia menekankan, penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan pendekatan kemanusiaan yang adil. Tak hanya lewat kebijakan formal, tetapi juga pendampingan hukum dan penyederhanaan prosedur administratif. “Tidak adil apabila masyarakat dibiarkan bergumul sendiri dalam menghadapi ketidakpastian hukum atas lahan yang mereka tempati. Jika kita menginginkan pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur, maka penyelesaian sengketa pertanahan harus menjadi agenda prioritas yang dijalankan secara serius dan bermartabat,” tutupnya. Kondisi ini menunjukkan, tanpa intervensi konkret dari pemerintah, risiko terjadinya konflik agraria masih membayangi. DPRD Kaltim berharap semua pihak bergerak cepat sebelum keterlambatan ini menjelma menjadi persoalan hukum yang jauh lebih kompleks. (hms7)