Komisi II Minta “Norma Baru” Dimasukkan

Senin, 1 Maret 2021 105
Komisi II DPRD Kaltim melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala Biro Hukum Rozani Erawadi terkait dengan usulan norma baru dalam draft Raperda Tentang Perubahan Badan Hukum Perusda MBS dan BKS
SAMARINDA. Komisi II DPRD Kaltim meminta kepada Biro Hukum Provinsi Kaltim agar di dalam Raperda Tentang Perubahan Badan Hukum Perusahaan Daerah (Perusda) Melati Bakti Satya (MBS) dan Perusda Bara Kaltim Sejahtera (BKS) menjadi Perseroan Daerah (Perseroda) memuat norma baru tentang kearifan lokal.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi II DPRD Kaltim Verydiana H Wang saat melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala Biro Hukum Rozani Erawadi, dengan dihadiri sejumlah Anggota Komisi II, Baharuddin Demmu, Sapto Setyo P, Bagus Susetyo, Ali Hamdi, Safuad, Sutomo Jabir, dan Nidya Listyono, Senin (1/3) kemarin.

Menurut perempuan yang akrab disapa Very ini, norma baru tentang kearifan lokal yang dimaksud yakni terkait keterlibatan DPRD Kaltim dalam konteks pengawasan agar dimasukkan dalam Draft Raperda perubahan badan hukum tersebut.

Misalkan dicontohkan dia, sebelum melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mana pemerintah daerah selaku pemegang saham mayoritas wajib melakukan konsolidasi dan konsultasi dengan DPRD Kaltim.

“Termasuk draft rancangan akta pendirian dan anggaran dasar perusahaan, sebelum diajukan ke notaris wajib dikonsultasikan ke DPRD, dan juga setiap kali terjadi perubahan Anggaran Dasar Perusahaan, pemerintah daerah wajib memberi salinan berkas hasil persetujuan menteri atas setiap perubahan Anggaran Dasar dari perusahaan kepada kami,” terang Very.

Hal senada disampaikan Bagus Susetyo. Dikatakan dia, pada saat perubahan, apakah itu keterkaitan dengan permodalan, ataupun keputusan-keputusan strategis, seharusnya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPRD Kaltim. “Sehingga, kami tidak serta-merta ditinggal. Kami ini juga mitra dari setiap perusda yang dibentuk,” sebutnya.

Selain meminta norma baru untuk dimasukkan dalam raperda, dirinya juga menyampaikan agar seluruh perusda transparan dan tidak menyalahi aturan. “Khususnya terkait dengan penggunaan keuntungan atau operasional untuk pengembangan usaha. Kemudian, operasional yang diperbolehkan, mestinya juga tidak menyalahi aturan akuntansi yang sudah ditetapkan, dalam hal ini ada standarisasi yang jelas,” beber Politikus Gerindra ini.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Kaltim Nidya Listiyono mendorong dalam proses seleksi direksi perusda dilakukan sesuai aturan yang dengan melibatkan DPRD Kaltim. “Minimal, kalau prosesnya sudah benar, kemudian jika terjadi penyimpangan, setidaknya preventif, dan mitigasinya sudah kita lakukan,” sebut dia

Tio, sapaan akrabnya, berharap DPRD Kaltim dengan Pemprov Kaltim bisa bersinergi dalam rangka bagaimana membangun perusdah dari awal, dimonitor dengan benar. “Selam ini memang kontrol kita terhadap penggunaan dana pada perusdah terbilang lemah. Ini harus kita tekankan,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Hukum Rozani Erawadi mengatakan akan melakukan rapat lebih lanjut dengan Biro Ekonomi, BPKAD dan perangkat daerah terkait. Pasalnya, keputusan penambahan norma baru dalam draft raperda harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pihak terkait.

“Kami akan melakukan konsolidasi internal dengan Biro Ekonomi, BPKAD dan perangkat daerah terkait untuk menanggapi usulan Komisi II. Insya Allah, pekan depan hasil konsilidasi akan disampaikan kembali,” pungkas Rozani. (adv/hms6)
TULIS KOMENTAR ANDA
Rakor BK DPRD se-Kaltim Tekankan Pentingnya Standarisasi Penegakan Etika dan Kepastian Sanksi
Berita Utama 11 Desember 2025
0
BALIKPAPAN. Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Kalimantan Timur menggelar Rapat Koordinasi bersama BK DPRD kabupaten/kota se-Kaltim dengan tema “Penguatan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan DPRD se-Kalimantan Timur: Standarisasi dan Kepastian Sanksi”, Rabu (10/12/2025). Kegiatan ini digelar untuk memperkuat langkah bersama dalam menciptakan penegakan etika yang lebih konsisten dan terukur di seluruh daerah. Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, dalam sambutannya menekankan bahwa etika merupakan fondasi bagi kualitas demokrasi daerah. Ia mengingatkan bahwa aturan bukan semata formalitas, melainkan cermin kehormatan lembaga. “Tanpa komitmen terhadap etika, kepercayaan publik akan perlahan hilang,” tegasnya. Pernyataan ini menjadi pembuka bagi pembahasan lebih luas tentang urgensi pembenahan sistem etika di DPRD. Narasumber pertama, Teuku Mahdar Ardian dari MKD DPR RI, menyoroti keragaman bentuk pelanggaran etika yang muncul akibat dinamika sosial politik dan perubahan perilaku digital. Ia menekankan perlunya keseragaman penanganan etika antar daerah. “Pelanggaran yang substansinya sama tidak boleh menghasilkan putusan berbeda. Ini bukti bahwa standarisasi tata beracara BK sudah sangat mendesak,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kepastian dalam setiap putusan. “Kalau sanksi tidak tegas, ruang kompromi politik makin besar dan kepercayaan publik makin turun,” tambahnya. Sementara itu, akademisi Universitas Mulawarman, Alfian, menegaskan bahwa citra DPRD ditentukan oleh perilaku para anggotanya. “Publik melihat DPRD bukan hanya dari produk kebijakannya, tetapi dari etikanya,” tegasnya. Ia menyebut penegakan etika yang konsisten sebagai syarat menjaga legitimasi lembaga. “Sanksi yang jelas dan konsisten menutup ruang negosiasi politik dan memperkuat independensi BK,” lanjutnya, menekankan perlunya standarisasi pemeriksaan di seluruh daerah. Dalam sesi diskusi, BK kabupaten/kota menyampaikan beragam persoalan di lapangan. Ketua BK Kutai Timur mengeluhkan respons fraksi yang lamban. “Rekomendasi sudah kami kirimkan, tapi fraksi belum menindaklanjuti secara tegas,” ujarnya. Ketua BK Mahakam Ulu turut mengapresiasi metode baru pengawasan kehadiran, sembari berharap peningkatan wibawa lembaga. “Kami ingin BK lebih disegani di internal DPRD,” katanya. Sementara itu, BK Kutai Kartanegara mendorong revisi UU MD3. “Rekomendasi BK itu non-final, mudah dipatahkan di paripurna. Kami butuh penguatan kewenangan,” tegasnya. Ketua BK PPU menutup sesi dengan sorotan soal minimnya sumber daya. “BK hanya tiga orang dan tanpa tenaga ahli. Ini jelas memengaruhi efektivitas kerja,” ujarnya. Rakor ditutup dengan penegasan bahwa BK bukan sekadar perangkat administratif, tetapi penjaga legitimasi moral DPRD. Standarisasi tata beracara, koordinasi antardaerah, dan kepastian sanksi menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas penegakan etika dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.